Silaturrahim yang Terputus

3.9K 192 1
                                    

"Amel, kan sudah kakak bilang hati - hati kalau main," ucap sebuah suara familiar di belakangku. Aku tidak berani menoleh. Sungguh.

"Loh, Ros?" Lanjutnya kemudian.

Aku mengenal pemilik suara ini.

Benar - benar mengenalnya.

Dia...

"Ya ampun, Ros! Ini kamu 'kan Ros? Kamu apa kabar?" Ucap suara itu histeris.

Mau tak mau, aku harus menoleh. Demi nilai kesopanan yang Ummi tanamkan padaku sejak kecil.

Dia, kak Nisa. Orang yang aku akui lumayan mengerikan, sungguh.

"Mm, kabar baik kak. Alhamdulillah. Kakak kok bisa disini?" Jawabku gugup.

"Kakak tugas mengajar disini sekarang Ros. Adik terkecil kakak juga pengajian disini. Kamu lagi nunggu si kembar?"

"E... Eh... Iya kak," jawabku.

Tahu kenapa aku takut dengan orang di hadapanku ini?

Dia adalah kak Nisa, teman lamaku di majelis ta'lim dulu. Sebelum aku menjadi santri Ponpes.

Dialah yang paling gencar menjodohkan ku dengan adik keduanya, kak Yusuf, yang katanya suka denganku. Katanya.

Sejak dulu, tak henti - hentinya dia memaksaku untuk membalas surat dari kak Yusuf. Dialah yang paling gencar untuk mengatakan, "dek, ada salam dari Yusuf. Salamin balik ya," setiap aku baru sampai majelis.

Tak kusangkal, kak Yusuf memang tampan, memiliki kewibawaan dalam Setiap pembawaan khutbahnya, lelaki yang cerdas dengan segala rasa berani dan rasa ingin tahu yang besar. Membuat banyak akhwat melirik penasaran padanya.

Namun siapa orang di dunia ini, yang dapat mengatur hatinya untuk jatuh pada sosok terpilih?

Aku hanya menganggap kak Yusuf sebagai kakakku, tak lebih dari itu.

"Ayo Ros, ikut aku. Kangen banget rasanya udah lama gak ketemu. Berapa tahun ya? 2 tahun ada kali ya?" Ujar kak Nisa.

Kak Nisa tersenyum padaku, dia menggendong Amel dan memapahnya ke dalam ruang guru, untuk diobati lukanya.

Aku mengangguk perlahan, "iya, aku juga kangen sama kakak. Teman - teman majelis gimana kabarnya, kak?" Tanyaku.

Kududukan tubuhku di salah satu kursi ruang guru.

"Kangen sama aku atau kangen sama Yusuf?" Ledek kak Nisa, semburat wajah jahilnya seketika mengingatkanku pada kebiasaannya sejak dulu. Meledekku, "kakak juga udah gak majelis lagi 3 bulan setelah kamu keluar itu. Ummi abimu apa kabar Ros?" Lanjut kak Nisa kemudian.

"Oh gitu, ummi abi sehat kak. Alhamdulillah. Kakak lanjut kuliah atau gimana jadinya?"

Dulu kak Nisa sering sekali menginap di rumahku tiap liburan, wajarlah dia mengenal keluargaku dengan baik.

"Alhamdullilah. Kuliah Ros, ambil jurusan pendidikan. Sebentar lagi juga sidang. Biayanya sambil ngajar di beberapa pengajian."

Aku menganggukan kepala perlahan.

Kak Nisa memang hebat, sosok kakak sulung yang patut dijadikan panutan bagi adik - adiknya. Dia wanita yang pintar, ulet, dan bersemangat sejak pertama kali aku mengenalnya. Wanita yang tidak pernah menyerah dalam mencari ilmu.

Dan hebat, seberat apapun masalahnya, dia tetap ceria. Tidak pernah sekali pun aku mendengarnya mengeluh di depan orang - orang.

"Kamu kemana aja sih Ros? Seenggaknya liburan itu hubungi aku, kita meet up lah. Aku hubungi nomor teleponmu gak bisa, jadi putus silaturrahim nih kita," lanjut kak Nisa, sembari mengoleskan luka di lutut Amel dengan antiseptic.

"Astagfirullah, aku gak maksud memutuskan tali silaturrahim kita. Tahu sendiri, nomor teleponku suka gonta - ganti karena kedaluwarsa masa aktifnya. Ponpes gak mengizinkan bawa elektronik kak. Cuma bisa buka ponsel tiap 6 bulan," jawabku sembari cengengesan. Sejujurnya aku merasa tidak enak, jadi terkesan sombong dan menjauhkan kak Nisa, padahal tidak.

"Hehe, iya iya. Aku ngerti. Yusuf aja nanyain kamu melulu lho Ros. Sebenernya aku mau berkunjung kerumahmu, tapi takut kamu udah pindah. 'Kan kita udah lama gak kabar - kabaran," jawab kak Nisa.

"Berkunjunglah kak. Rumahku masih yang dulu. Abi dan ummi belum ada niat pindah rumah, hehehe. Kak Yusuf gimana kabarnya, kak?"

"Dia dapat beasiswa kuliah kedokteran di Yogya, Ros. Kadang pulang ke rumah 6 bulan sekali," jawab kak Nisa kembali.

Ah, tidak kakaknya, tidak adiknya, sama - sama membuatku kagum. Semoga takdirku sebaik mereka berdua.

"Minta nomor teleponmu dong, Ros. Biar kita gak lost contact lagi. Yusuf itu ketar - ketir cari keberadaan kamu, sungguh," ucap kak Nisa sembari menyerahkan ponselnya padaku.

Aku segera menyisipkan nomor teleponku di Ponsel kak Nisa dan mengembalikannya,
"ya sudah kak, kalo mau berkunjung saja ke rumahku. Masih ingat jalannya 'kan?"

"Ingat kok. Si kembar sudah pulang kali tuh. Salam buat ummi abi ya Ros," jawab kak Nisa.

"Oh iya, aku duluan ya, kak. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

—————————————————————

Kembali terekam di otakku perkataan kak Nisa tadi. Berkali - kali dia berkata kak Yusuf mencariku. Untuk apa?

Sungguh, jika hati ini bisa kuatur, aku ingin mencintai kak Yusuf saja.

Namun apalah daya. Allah telah melabuhkan rasa cintaku pada Arka, orang yang tak kubayangkan sebelumnya, bermukim di hatiku selama ini.

Merasa tidak enak juga dengan kak Nisa, aku tidak bermaksud untuk sombong ataupun menjauhinya, sungguh.

Aku hanya lupa menghubunginya kembali.

Padahal sejak dulu, dialah orang yang selalu mendengarkan curhatan ku, keluh kesah ku tentang segala beban yang kurasakan. Lalu, tali silaturrahim di antara kami terputus.

Salahkah aku?

—————————————————————

Haii welcome back to my wattpad story✋

Hari Jum'at nih jangan lupa Al - Kahfi nya ya❤

Siapa yang sangka kalo itu Arka?😂 Sehari tanpa Arka gak apa - apa lah ya hehehe. Ternyata Arka sudah keduluan sama kak Yusuf tuh, kira - kira nanti di ending Ros milih siapa yaa?

Jangan lupa juga. Bismillah for everything:)

Asma untuk AlthafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang