Malam – malam begini Bunga berkunjung ke rumah kami, tumben sekali. Ingat Bunga? Adik kelas yang dulu sempat memiliki sedikit skandal denganku. Salah satu penyebab retaknya hubungan kami.
“Sekarang bekerja dimana, kak?” Tanya Bunga sopan.
“Rekha Corps, di Jakarta Pusat. Kamu sendiri?” Balasku, sesekali menyunggingkan senyum formal, berusaha ramah.
Asma sedang menyiapkan minuman. Rasanya canggung sekali bicara berdua seperti ini.
“Wah, yang benar? Rekha Corps? Tempat kerja kira deketan, ya, kak!” Jawab Bunga antusias.
“Memang tempat kerjamu di daerah mana?”
“Bank Metafora, dekat – dekat situ juga,”
beberapa saat, Asma kembali lalu menata minuman dan beberapa camilan di atas meja.Duduk di sebelahku dan mengulas senyum manisnya, “Apa kabar, Bung?”
“Baik, kak. Gemukkan sekarang, lagi isi, ya?” Balas Bunga tersenyum ramah.
Asma tersipu, “ah, iya.”
“Sudah berapa bulan, kak?”
“Seminggu lagi masuk bulan ke lima.”
“Wah, selamat ya!”
“Terima kasih.”
Bunga menyesap cangkir teh nya santai, “kayaknya sebentar lagi aku pindah ke perumahan ini.”
“Yang benar?” Asma bertanya antusias.
“Iya, lagipula sekarang aku harus hidup mandiri. Gak bisa terus – terusan sama orang tua.”
“Kenapa harus di daerah sini?” Tanyaku.
Bunga menatap kedua mataku lurus, “Selain dekat dengan tempat kerja, aku, ‘kan, jadi bisa ketemu kak Althaf terus. Nanti bisa berangkat ke tempat kerja bareng juga. Ah, asiknya!”
Entah ini hanya perasaanku saja atau kenyataan, wajah Asma mulai terlihat cemberut dan merah padam.
“Apa maksudmu?” Tanya Asma ketus.
“Maksudku? Tentu saja ingin memperbaiki hubunganku dan kak Althaf yang sempat kusut.”
“Hubungan? Sempat kusut?” Asma merasa heran.
“Yah, kisah klasik waktu SMA. Walaupun sempat ada pengacau kecil disana,” jawab Bunga santai, terkesan sedang menyindir Asma.
Kueratkan rangkulanku pada pinggang Asma, berharap dapat meredam emosi ibu hamil di sampingku.
“Aurora Bunga, putri konglomerat ternama Prama, saya tahu kamu ini wanita yang terhormat. Tak seharusnya wanita terpelajar sepertimu datang sendirian tanpa muhrim, mengunjungi kediaman pria yang memiliki masa lalu tak mengenakkan denganmu. Belum lagi di saat malam hari, sikapmu itu tak menunjukkan sikap putri seorang bangsawan,” balas Asma tajam, namun masih mendatarkan nada bicaranya.
Asma luar biasa!Bunga memicingkan matanya, “salahkah aku meluruskan hal yang seharusnya diluruskan? Kamu hanya pengganggu di hubungan baik kami dulu!”
“Salah, benar – benar salah. Asal kamu tahu, keluargaku dan Althaf berkerabat dekat hampir seumur hidup kami. Aku dan dia sudah jauh lebih dulu saling mengenal ketimbang kamu yang hanya orang baru di cerita kami. Dan kamu bilang apa tadi? Pengganggu? Jika kamu wanita berotak, seharusnya kamu sadar diri kalau yang pantas disebut pengganggu itu dirimu sendiri!” Balas Asma sengit.
Kuakui, setiap kata – kata yang Asma lontarkan selalu pedas luar biasa.
Bunga membulatkan matanya, jeda sejenak sebelum akhirnya menjawab, “bahkan aku tak yakin kak Althaf sungguh – sungguh mencintaimu, yang kulihat ia hanya terpaksa karena sikap otoritermu dulu!”
Asma mengepalkan tangannya sampai buku – buku jarinya memutih, matanya mendelik tajam persis singa yang siap menerkam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asma untuk Althaf
Fiksi Umum"Dia musuhku dalam hal apapun. Dan aku selalu menganggapnya sebagai saingan telakku, tak lebih dari itu." - Asmara Adiba - "Dia sudah mengibarkan bendera peperangan sejak pertama kali kami bertemu. Entah mengapa, dia selalu menganggapku musuhnya, da...