"Antar pesanan ini ke meja nomor lima, cepat!" Instruksi salah satu lelaki yang juga pegawai restoran tersebut.
Althaf membenarkan posisi topinya dan dengan sigap mengantarkan pesanan pada meja yang dituju.
Jika kalian mengira Althaf hanyalah anak manja yang tidak mampu hidup tanpa harta orang tuanya, maka kalian salah besar.
Dibalik kesibukannya menimba ilmu, Althaf juga disibukkan dengan pekerjaannya sebagai pelayan salah satu restoran Jepang di dekat sekolahnya.
Dan tentu saja tanpa sepengetahuan keluarga besarnya.
Hanya bekerja paruh waktu memang, mulai dari siang sepulang sekolah, sampai malam sebelum isya.
Rutinitas ini telah ia lakukan selama kurang lebih dua tahun lamanya, semenjak ia menginjak bangku SMA.
Ketika kedua orang tuanya menanyakan perihal waktu pulangnya yang terlalu sore, Althaf akan beralasan bahwa ia belajar kelompok bersama teman - temannya.
Dan sejauh ini, Abi dan Umminya percaya - percaya saja. Mengingat prestasi Althaf yang kian meningkat dapat dijadikan salah satu buktinya.
Althaf hanya ingin berusaha menghargai pemberian orang tuanya, sekecil apa pun itu. Maka itu ia bekerja, agar mengetahui sulitnya mencari nafkah.
Gajinya tiap bulan akan selalu ia tabung dalam rekening pribadinya.
Lagi - lagi tanpa sepengetahuan keluarganya.
Dengan cepat Althaf menghampiri meja nomor lima dan berkata dengan senyum ramah.
"Selamat sore, Nona. Selamat datang di restoran kami. Menu spesial Minggu ini adalah-" ucapnya terhenti ketika gadis itu menoleh dan memperlihatkan wajah aslinya.
"A... Al... Althaf? Kamu...," Ujar gadis itu terputus.
Ya, itu Asma.
Entah mengapa takdir seolah tak bosan mempertemukan mereka.
"Ssst, jangan beritahu siapa - siapa terutama keluargaku, ya," ucap Althaf mengedipkan sebelah matanya.
"Jadi... Kamu mau pesan apa?" Lanjutnya bertanya.
Asma yang masih shock hanya melongo memperhatikan Althaf dengan setelan khas pelayannya.
Yang tadinya ia hanya sedang lapar dan penasaran untuk coba - coba restoran ini sepulang sekolah, berhubung ia mendapat rekomendasi dari teman sebangkunya. Namun ia justru dikejutkan oleh kenyataan saingan beratnya.
Althaf... Adalah seorang pelayan disana.
"Setahuku, orang yang suka melamun akan mengalir penuaan dini tanpa ia sadari," ujar Althaf menginterupsi keasikan melamun Asma.
"Eh, iya, ehm, aku mau pesan Sukiyaki saja. Kata temanku Sukiyaki disini enak," ucap Asma gugup. Entah mengapa tiba - tiba atmosfer canggung meyusup ke relung hati Asma.
"Pilihan yang bijak! Dan minumnya?" Tanya Althaf kembali, berusaha seprofesional mungkin.
"Ehm, ocha saja," balas Asma lambat.
"Pesanan akan siap sepuluh menit lagi. Harap sabar menunggu, Nona!" Tukas Althaf, membungkukkan badan hormat dan segera berlalu dari hadapan Asma.
Asma menatap punggung Althaf yang kian menjauh dan terus menjauh.
"Apa lagi yang tidak kuketahui darimu, teman kecilku?"
------------
Semenjak kejadian hari itu, Asma tidak menatap Althaf seperti biasanya. Tidak lagi menatap Althaf sebagai lelaki manja nan menyebalkan.
Ia menemukan sifat tersembunyi Althaf yang baru diketahuinya sejak saat itu.
Bahwa, dibalik sifat konyol dan menyebalkannya,
Althaf sangatlah mandiri dan dewasa.
"Lihatin Althaf terus, Ma. Jangan - jangan...," Suara Dhini, teman sebangku Asma menginterupsi keasikannya menatap Althaf.
"Dhin, kamu sering ke restoran Jepang dekat sekolah itu, 'kan?" Tanya Asma memastikan, mengabaikan dugaan Dhini tadi.
"Sering dong, kalau jarang aku gak bakal rekomendasikan restoran itu ke kamu," balas Dhini seadanya.
"Terus, ehm... Apa kamu sering perhatikan pelayan disana?" Tanya Asma lagi.
"Buat apa memperhatikan pelayan? Yang kuperhatikan cuma menu - menu lezat yang ada disana," jawab Dhini.
Baiklah, Dhini tidak mengetahuinya.
"Berarti, aku orang terdekat pertama yang mengetahui rahasia ini, ya?" Pikirnya.
Asma masih penasaran, apa alasan Althaf bekerja paruh waktu dan mengapa ia meminta merahasiakan ini pada keluarganya?
-------------
"Oi, Althaf!" Seru Asma lalu menghampiri Althaf yang sedang berjalan menuju gerbang sekolah.
"Ada apa?" Tanya Althaf tak acuh.
"Pulang bareng ya. Aku juga mau bertanya banyak sama kamu," ucap Asma lalu mengatur nafasnya yang masih terengah - engah.
Keduanya terus berjalan melewati gerbang sekolah namun belum ada satu pun dari mereka yang membuka suara.
"Aku mau tanya soal kemarin, apa alasan kamu kerja paruh waktu? Setahuku keluargamu dari kalangan yang cukup berada," tanya Asma, mati - matian berusaha menyembunyikan rasa gengsinya untuk bertanya duluan pada Althaf.
"Apa anak keluarga berada pun tak diperbolehkan menjadi seorang pelayan?" Jawab Althaf sengit.
"Calm down, Asma. Jadilah gadis penyabar sehari saja," benak Asma.
"Ya tidak, sih. Aku hanya ingin menanyakan apa alasanmu bekerja saja. Sejak kapan?" Lanjut Asma kemudian, berusaha mengubur amarahnya dalam - dalam.
"Bukan urusanmu," balas Althaf tanpa cela.
Jleb!
Darah Asma rasanya sudah naik ke ubun - ubun.
Sudah. Sudah cukup. Pada dasarnya Asma tidak pandai menahan emosi, apalagi pada Althaf. Dan ini sudah lebih dari batas kesanggupannya.
"Grr, kamu! Dasar menyebalkan! Aku hanya bertanya sedikit dan apa responmu? Tidak sopan sama sekali!" Ledak Asma tanpa ampun.
"Kalau begitu berhentilah bertanya. Mudah bukan?" Jawab Althaf tanpa dosa.
"Apa kamu lupa rahasiamu ada padaku? Akan ku ungkap semua pada kedua orang tuamu! Semuanya!" Kesal Asma, dadanya naik turun, napasnya tersengal karena terlalu emosi.
Dan Asma berlalu, menjauhi Althaf yang tercengang sendiri.
Namun tiba - tiba, Althaf menahan pergelangan tangannya.
"Bicara apa kamu tadi?" Tanya Althaf dengan suara beratnya.
Kepalanya menghadap ke bawah, menatap Asma yang tingginya hanya mencapai bahu Althaf.
Asma berjengit kaget. Melihat Althaf yang saat ini sangat menyeramkan baginya.
"Emh, itu, aku...," Ucap Asma tertahan.
Sampai ketika...
Althaf memeluk Asma, sangat erat. Mendekap gadis itu, seakan tidak ingin membiarkan gadis itu pergi darinya.
Mata Asma sukses mencelos sempurna. Terkejut, namun, nyaman disaat yang bersamaan.
"Althaf...," Gumamnya.
"Emh, kumohon sebentar saja," ujar Althaf dengan mata terpejam.
Tangannya memilin ujung seragam Althaf, mulai sulit bernapas karena Althaf memeluknya dengan sangat erat.
"Aku akan menceritakan semuanya padamu, semuanya..."
Dan waktu mereka seakan terhenti saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asma untuk Althaf
General Fiction"Dia musuhku dalam hal apapun. Dan aku selalu menganggapnya sebagai saingan telakku, tak lebih dari itu." - Asmara Adiba - "Dia sudah mengibarkan bendera peperangan sejak pertama kali kami bertemu. Entah mengapa, dia selalu menganggapku musuhnya, da...