Epilog

3.4K 126 2
                                    

Asma sedang dalam masa – masa kritisnya.
Keadaannya kian memburuk dari hari ke hari. Pingsan tanpa sepengetahuan, mimisan tiba – tiba, bahkan tubuhnya melemas setelah melakukan beberapa pekerjaan ringan saja.

Dan itu sukses membuat Althaf makin  khawatir. Niat baiknya untuk menyewa pengawal sekaligus pembantu untuk Asma ditolak mentah – mentah oleh wanita muda yang sedang hamil besar itu.

Alasannya simple saja, Asma mencintai kebebasan dan ia merupakan tipe wanita yang tidak bisa berdiam diri di rumah.
Seperti malam ini, Althaf yang baru saja pulang kerja dikejutkan dengan pemandangan istri tercintanya yang teronggok tak berdaya di sisi dapur.

Wajahnya begitu pucat, bibirnya membiru, dan seluruh tubuhnya amat dingin dan kaku. Belum lagi darah segar yang terus mengucur dari hidung mancungnya.

Althaf akan mati khawatir kalau begini caranya.

Tanpa aba – aba, Althaf segera mengangkat tubuh istrinya ke dalam mobil dan menyetir gila – gilaan menuju rumah sakit.

Jakarta malam begitu macet, membuat Althaf harus menyelip puluhan mobil di sana. Ia tidak peduli dengan riuhnya klakson dari pengendara yang lain, ocehan serta makian mereka ia anggap seperti angina lalu saja.

Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah keselamatan wanita yang sangat ia cintai.
“Bertahanlah, Asmara…”

----------

Dokter Siti membetulkan letak kaca matanya, “janin yang ada di kandungan Ibu Asma tumbuh kuat dan sehat, namun berbanding terbalik dengan sang Ibu, tubuh Ibu Asma mengalami keadaan yang semakin melemah. Beberapa kasus seperti ini banyak terjadi, dimana janin makin kuat, namun keadaan Ibu makin melemah,” ujarnya.

Althaf berharap cemas, “Apa itu berbahaya, Dok?”

“Cukup berbahaya, ada kemungkinan sang Ibu dapat tidak terselamatkan pada proses persalinan, walaupun bayi lahir dalam keadaan sehat.”

Napas Althaf tercekat, jantungnya berdegup kencang, “apa tidak ada jalan lain yang memungkinkan istri saya dapat selamat, Dok?”

Dokter Siti tersenyum hangat, “ada. Berdoa kepada Allah dan percaya bahwa seluruh hal yang paling terbaik kedepannya sesuai dengan kehendak – Nya.”

----------

Setelah pingsan selama beberapa jam, kini Asma sudah sadar dan mulai bisa diajak bicara. Yang bisa wanita itu lakukan selain berbaring hanyalah mengulas senyum manisnya, karena seluruh tubuhnya benar – benar terkulai lemas tak berdaya.

Althaf mencium kening Asma khidmat, “kenapa kamu keras kepala? Keadaanmu yang seperti ini selalu membuatku takut dan cemas. Mimpi buruk selalu membayangiku setiap malamnya.”

Sedangkan wanita didepannya hanya tertawa kecil penuh misteri, “kamu gak usah khawatir begitu, kalau Allah sudah berkehendak, kita manusia bisa apa?” Jawab Asma, suara merdunya terdengar begitu halus dan parau.

“Setidaknya manusia masih bisa berikhtiar untuk mencegah kemungkinan buruk yang akan terjadi. Aku… hanya takut kehilanganmu, Ra,” lirih Althaf. Suaranya bergetar dan entah sejak kapan matanya mulai berkaca – kaca.

Asma mengelus rambut hitam Althaf lembut, menatap lelaki itu penuh kasih sayang, “kamu harus tetap bahagia kalau pun nanti aku telah tiada. Karena aku pun akan berbahagia di alam yang berbeda, merasakan nikmatnya syahid di jalan pengorbanan.”

Althaf terpaku. Kata – kata itu berhasil menohok hati kecilnya.

“Dan kita akan kembali berjumpa di Surga sana, karena cintaku ini bukan untuk di dunia saja,” lanjut Asma kemudian, mengulas senyum termanisnya.

Asma untuk AlthafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang