Grand Indonesia Shopping Town, salah satu mall terbesar di pusat kota Jakarta. Disinilah aku dan Fisha menghabiskan waktu dan bernostalgia bersama di tengah - tengah keramaian orang yang berlalu lalang.
"Ros, nanti selesai makan temenin aku cari buku ya," ucap Fisha sembari menyesap lemon tea - nya.
"Katanya mau cerita Sha?" Tanyaku tak sabar. Fisha memang menjanjikan akan menceritakan hal penting padaku, entah itu apa.
"Hm. Jadi gini Ros, sepertinya aku jatuh cinta. Aku mau kamu bantu aku," tukas Fisha santai.
Aku membelalakkan mata. Terkejut tepatnya. Belum pernah Fisha bercerita menyukai lelaki sebelumnya. Dan sekarang, Fisha berkata bahwa dirinya jatuh cinta. Jatuh cinta? Jatuh C I N T A kutekankan sekali lagi.
Aku rasa Fisha masih terlalu kekanakan untuk mengerti perasaan seperti itu. Bukan apa - apa. Aku hanya tak ingin perasaan sahabatku terombang - ambing tidak jelas dengan persepsi cinta. Aku tak ingin Fisha, sahabatku dari kecil, terluka karena perasaannya sendiri yang belum jelas. Tentu saja, karena aku menyayangi Fisha seperti aku menyayangi saudaraku sendiri.
"Kenapa Ros?" Tanya Fisha bingung melihatku terlihat kaget dengan ucapannya.
"Gak apa - apa Sha. Kaget aja, kamu kan belum pernah cerita menyukai seseorang sebelumnya, apa kamu benar - benar yakin dengan perasaanmu?" Tanyaku berusaha santai lalu melahap salad buahku perlahan.
"Tentu Ros. Aku merasa ini wajar - wajar saja karena dia pun memang pantas aku sukai," jawab Fisha kembali. Kali ini wajahnya menunjukkan keseriusan akan ucapannya barusan.
"Memangnya siapa dia Sha?" Tanyaku kembali
"Teman satu Ponpesmu Ros. Arka," jawab Fisha dengan suara yang tegas seakan - akan sangat yakin dengan perasaannya sendiri.
Aku menghentikan segala kegiatanku. Aku membelalakkan mata terkejut, nafasku tertahan sejenak, bernafas kembali pun terasa sulit untukku sekarang.
"Ap...Apa? Ar...Arka?" Tanyaku tergagap. Rasanya seperti mimpi. Tak pernah aku membayangkan akan seperti ini.
Fisha mengangguk pelan, "bantu aku biar kenal sama dia Ros. Please," ucap Fisha memelas -wajah andalannya- wajah yang membuat aku tidak tega untuk menolak setiap kali diminta pertolongan olehnya.
Ya, Fisha memang lumayan sering datang ke Ponpes untuk menjengukku, dan dari situ pula, Fisha mulai mengenal teman - temanku di Ponpes. Namun sungguh, aku tak pernah menyangka perkenalan Fisha dan Arka akan membekas di hati Fisha sampai sejauh ini.
"Ta...Tapi gak bisa begitu Sha," ujarku dengan suara yang sedikit bergetar dan mata yang agak berkaca - kaca —jika Fisha menyadarinya— Aku benar - benar berusaha menahan air mataku agar tidak mendesak keluar.
"Yang namanya akhwat itu sudah kodratnya untuk menunggu. Menunggu sang jodoh mengkhitbah kita pada Abi," lanjutku kemudian.
"Please Ros, aku gak akan minta apa - apa lagi ke kamu selain ini," ucap Fisha, masih dengan tampang memelasnya, membuatku merasa jahat jika menolak permintaan sahabatku sendiri.
"Aku gak janji ya Sha," jawabku lalu mendongakkan kepala, untuk menghalangi air mata yang akan meluncur turun. Hatiku sangat perih, membayangkan orang yang ku sayangi pun mencintai orang yang sama denganku.
"Terima kasih ya Ros. Kamu memang sahabat terbaikku!" Ucap Fisha girang setenfah berteriak lalu memelukku erat.
Aku hanya menganggukan kepala pelan. Aku akan bahagia jika Fisha pun merasa begitu.
Aku dan Fisha berjalan beriringan menuju toko buku dengan suasana keheningan. Tiada satu pun yang memulai pembicaraan hingga aku dan Fisha melangkahkan kaki ke dalam toko buku. Aku tersenyum hambar.
Ternyata pengharapan sungguh menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asma untuk Althaf
Algemene fictie"Dia musuhku dalam hal apapun. Dan aku selalu menganggapnya sebagai saingan telakku, tak lebih dari itu." - Asmara Adiba - "Dia sudah mengibarkan bendera peperangan sejak pertama kali kami bertemu. Entah mengapa, dia selalu menganggapku musuhnya, da...