Sejak pertemuanku dengan Ros hari itu, aku sama sekali belum menghubunginya maupun Fisha. Belum ada rencana akan seperti apa jadinya pertemuan kami kembali.
Dan anehnya, Fisha benar - benar berhenti mengirimiku pesan seperti yang biasa ia lakukan.
Biasanya dia mengirimiku pesan setidaknya dua kali setiap harinya. Mulai dari kata - kata manis setiap pagi dan sore, menanyakan kabar, sampai pesan berisi kata - kata frustasi setengah mati yang tentu saja karena merindukanku.
Pasti dia sudah mengetahui kabar kepulanganku ke Jakarta, pastilah Ros telah memberi tahunya.
Apa mungkin itu yang membuatnya tidak kembali mengirimiku pesan?
Bodoh memang, aku terlalu lamban dan pengecut untuk mengakuinya.
Mengakui, bahwa aku sangat - sangat merindukan dirinya.
Kupikir benar apa yang Ros katakan kemarin, bahwa ini sudah waktunya. Sudah waktunya untukku menemui Fisha dan mengatakan segalanya.
---------------------
"Aku benar - benar belum memberi tahu Fisha tentang kepulanganmu kesini," ucap Ros sembari meletakkan tiga cangkir teh hangat diatas meja lalu duduk dengan manis di sofa, bersama suaminya.
Ya, aku memutuskan berkunjung ke rumah Ros untuk melanjutkan perbincangan kami tentang Fisha. Hitung - hitung perkenalanku dengan suaminya, mas Yusuf. Dia orang yang hebat dan juga sangat baik. Cocok sekali disandingkan dengan Ros.
"Dimana aku bisa menemuinya? Aku tidak bisa menghubunginya via telepon, kurasa itu sikap yang kurang pantas mengingat apa yang telah terjadi lima tahun belakangan," tanyaku menginterupsi.
"Kurasa kamu tidak bisa menghubunginya di hari kerja. Yah, dia super sibuk. Mungkin ada baiknya jika kamu langsung menemuinya di rumah orang tuanya. Dia selalu menginap disana setiap Sabtu dan Minggu," jelas Ros panjang lebar.
Mas Yusuf menyeruput tehnya dan berdehem pelan.
"Melangkahlah lebih cepat, banyak sekali rekan satu profesi ku yang sedang gencarnya mengincar Fisha. Mereka kebanyakan dari kalangan dokter - dokter muda yang sukses dan mapan, namun entah mengapa ibu bidan yang satu itu tak pernah menggubris mereka. Satu pun," jelas mas Yusuf dengan wajah yang dapat dikatakan cukup serius.
Ya ampun. Aku mati langkah.
"Ini waktunya kamu bertindak," lanjutnya kembali sembari menepuk punggungku pelan.
-----------------
Taman Anggrek.
Tempat favoritku sejak dulu.
Selain lokasinya yang ada di sekitar perumahanku, tempat ini punya kesejukan tersendiri ketika aku mengunjunginya. Terasa sangat damai dan indah.
Banyak sekali kenangan - kenangan yang tertinggal disini.
Pertemuan pertamaku dengan Fisha, penolakan Ros, perenungan senduku tiap sorenya ketika aku merasakan kesedihan yang amat sangat mendalam.
Dan itu yang kulakukan sekarang.
Merenungkan, apa aku bisa merebut hati Fisha kembali? Dapatkah ia memaafkan sikap bodohku selama ini.
Aku harus memulai dari mana?
"Aduh!" Seorang anak lelaki meringis kesakitan setelah terjatuh dari sepeda, dia berada cukup jauh dariku.
Lalu satu orang anak lelaki berwajah persis sepertinya memapahnya dan membangunkan sepedanya.
"Hati - hati dong, Rafi!" Ujar anak itu.
Aku jadi teringat pada si kembar Rafa dan Rafi, adik Ros.
Ah, apa itu mereka?
"Sudah jangan menangis, kak Fisha sudah menunggumu disana. Kamu harus belajar matematika. Tidak ada remedial lagi Minggu depan ya!" Seru anak lelaki yang tadi membantu saudara kembarnya kembali.
Eh? Apa katanya? Fisha?
Aku memicingkan mataku ke sudut taman.
Seorang wanita muda, dengan pakaian formal ala wanita karir ditubuhnya, seulas senyum hangat tercipta pada kedua anak tadi.
Senyum itu, senyum yang bagaikan candu.
Yang membuatku tahu, bahwa disaat dunia meragukannya, ada dia yang selalu memercayai ku.
Sudah kupastikan baik - baik bahwa wanita itu adalah Fisha.
Aku sangat yakin, aku sangat mengenal visual seorang Fisha. Mata cantiknya, hidungnya yang tidak terlalu mancung namun sangat pas diwajahnya, bibirnya yang sedikit tebal dibagian bawah, memberikan kesan jutek bin judes seorang Fisha.
Dan apakah aku akan terus memandanginya dalam diam seperti dulu?
Jawabannya adalah tidak.
Kunyatakan ini adalah waktu yang tepat untuk kembali menemuinya.
Dan entah kapan, kaki ini sudah terlanjur bergerak menuju ke arahnya, dan entah mengapa pula tekadku sudah sangat bulat untuk dapat menemuinya kembali.
"Assalamualaikum, Fisha..."
Dan kini, telah kutemukan kembali kebahagiaan sejati yang sempat hilang dari peradaban kehidupanku.
"Waalaikumussalam, ada apa ya mas? Eh? Arka?"
Dialah, Amara Nafisha.
Sang pemilik mata seteduh senja.
----------------
Me back yuhuu.
Kalo jodoh gak akan ketuker kan ya:v Ah, Arka selalu puitis, ku syukak❤
Jangan lupa. Bismillah for everything:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Asma untuk Althaf
General Fiction"Dia musuhku dalam hal apapun. Dan aku selalu menganggapnya sebagai saingan telakku, tak lebih dari itu." - Asmara Adiba - "Dia sudah mengibarkan bendera peperangan sejak pertama kali kami bertemu. Entah mengapa, dia selalu menganggapku musuhnya, da...