Kubanting pintu kamar keras-keras, menutup telinga dan tak peduli dengan ocehan kakakku-atau yang lebih spesifiknya adalah saudara kembarku-yang membuat telingaku terasa pengang.
Aku lelah.
Dua hari ini aku lembur di kantor, mencari bahan baru untuk edisi majalah bulan depan. Sampai di rumah pun aku masih mengerjakan tugas kantorku.
Dulu, pekerjaan ini terasa mudah bagiku, mengingat aku bekerja yang sesuai dengan passion-ku di bidang jurnalistik. Namun, entah mengapa akhir-akhir ini aku merasa jenuh. Bahkan sempat terlintas di benakku untuk segera mengajukan surat pengunduran diri, tetapi pada akhirnya aku mengurungkan niat itu.
Aku memilih untuk mengenyampingkan egoku dan membuka mata bahwa di zaman globalisasi seperti ini, mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Maka dari itu aku memutuskan untuk bertahan, sampai detik ini juga.
Semuanya tidak berjalan sesuai dengan keinginanku.
Kutarik kursi meja kerjaku (dulu disebut meja belajar dan sekarang meja kerja) dan meletakkan laptopku di atas meja. Menatap layar laptop yang gelap, aku menghela napas panjang dan memejamkan mata.
Setelah menenangkan diri dan pikiran, aku menyalakan laptopku dan teringat bahwa sebagian dari berkas-berkasku kutaruh di rak buku, bercampur dengan novel-novel, yang menjadi koleksiku sejak masih duduk di bangku kelas tiga SD.
Dengan malas, aku bangkit dan menghampiri rak buku. Kalau tidak salah, berkasnya aku taruh di rak paling atas. Karena rak buku ini beberapa centimeter lebih tinggi dariku, terpaksa aku harus berjinjit untuk meraihnya.
Dapat!
Saat kutarik berkas yang kucari-cari, tak sengaja aku menjatuhkan sebuah kotak merah yang sudah berdebu. Keningku mengerut, mencoba mengingat kotak apa itu dan sejak kapan aku menyimpannya.
Aku mengambil kotak itu dan membawanya ke meja kerja. Karena rasa penasaran yang tinggi, aku membuka kotaknya dengan perlahan. Debu tebal yang menempel di kotaknya membuat hidungku gatal.
Ketika membuka kotaknya, aku disambut oleh sebuah buku tebal berwarna hitam dengan stiker khas London atau Inggris. Aku mengambilnya dan membuka halaman pertamanya yang mengukir senyuman di wajahku.
Ah, buku jurnalku.
Sudah sekian lama aku tidak menulis jurnal lagi. Terhitung setelah kelulusanku yang kedua. Ya, yang kedua. Dua kali aku lulus dari SMA di negara yang berbeda.
Buku jurnal ini bersampul hitam. Aku ingat, aku mendapatkannya dari Papa saat masih SMP. Sudah lama sekali. Well, lebih tepatnya aku yang meminta. Lalu, kuhias sampul buku yang hitam polos agar tidak terlalu sepi dan terlihat menarik dengan stiker ala prangko bergambar tempat iconic London. Aku memang menyukai London.
Lembar pertama: foto Adnan Januzaj dengan tulisan, "My man crush every single day!".
Aku tertawa sendiri, merasa malu melihatnya. Adnan Januzaj adalah pemain bola favoritku sejak aku duduk di bangku kelas 7, hingga kini saat aku menjadi seorang wartawan di sebuah majalah remaja, yang tengah sibuk mencari materi baru yang kekinian. Aku masih menyukai Adnan Januzaj. He's my man crush every single day, until now.
Lembar kedua: nama lengkapku, Zevania Sylvianna dan fotoku bersama saudara kembarku, Zevanio Nugraha.
Lembar-lembar berikutnya tidak terlalu menarik, percayalah. Tidak ada yang spesial. Aku hanya menuliskan rutinitasku sebagai anak SMP yang akan segera lulus dan melanjutkan kisah hidupnya di dunia putih abu-abu. Namun, begitu sampai di lembar pertengahan, aku menemukan sesuatu. Sebuah tulisan.
Tulisan yang kutulis sendiri.
Tulisan yang melemparku ke alam bawah sadarku, seolah aku tengah mengarungi mesin waktu yang identik dengan cerita fiksi ilmiah.
Tulisan yang membuat memori otakku berantakan, bak sebuah rak buku yang kokoh dan sudah disusun rapi dan tiba-tiba roboh seolah ada yang sengaja meruntuhkannya.
Sebuah tulisan rapi yang menuliskan tentang awal perubahan di sepanjang hidupku sekaligus awal mula aku bertemu dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...