45 | Surprises

1.3K 246 75
                                    

Sesampainya aku di depan rumah Keluarga Asing, aku tidak langsung masuk ke dalam. Melainkan berdiri di halaman depan rumah. Melihat gelagat Mum tadi pagi, ada kemungkinan bahwa ia akan membuat kejutan untukku. Entahlah. Mungkin ya, mungkin tidak. Aku tidak terlalu memasang ekpestasi yang tinggi karena realita tidak selalu berbanding lurus dengan ekspetasi.

Misalnya, hari ulang tahun yang kukira akan meriah dirayakan bersama teman-temanku yang nyatanya sama sekali tidak terwujud.
Hanya tiga orang yang mengingatnya; Mikayla, Mrs. Aksov, dan mungkin Kafka-yang sebenarnya baru saja mengetahuinya.

Aku memutar gagang pintu dan mendorongnya. Bersiap untuk pura-pura terkejut apabila Mum benar-benar membuat kejutan untukku.

Satu... dua... tiga!

"KEJUTAN!"

I knew it.

Kupasang wajah sok terkejutku. Dengan tangan menutup mulutku yang terbuka lebar serta mata yang berbinar, kurasa aku layak mendapatkan setidaknya nominasi Oscar. Dugaanku benar. Mum menyiapkan kejutan ulang tahun untukku. Julian ada di rumah, begitu juga dengan Dad yang jarang sekali di rumah karena sibuk bekerja sebagai tour leader yang keliling UK, Eropa, bahkan dunia. Yang kurang hanya satu . . . Annika.

"Selamat ulang tahun, Zevania. Anakku tersayang." Mum memeluk tubuhku erat. Julian bertos ria denganku sementara Dad membawa kue cokelat yang kutebak adalah kue bikinan Mum tadi pagi. "Maaf tidak ada lilinnya," kata Mum.

Aku menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Ini lebih dari cukup. Terima kasih." Aku memeluk Mum sekali lagi.

"Zeva, ini hadiah dariku." Julian memberikan sebuah kotak kado bersampul Manchester United. "Dan ini dari Kate," katanya lagi seraya memberiku bingkisan kertas dengan Menara Eiffel sebagai sampulnya.

"Kate?" tanyaku tak percaya.

Julian menganggukkan kepalanya. "Kakaknya Andrew. Kau ingat?"

Tentu saja aku ingat siapa Kate itu. Maksudku, aku hanya bertemu dengannya sekali dan ia memberiku hadiah ulang tahun? Sungguh di luar dugaan. Adiknya bahkan tidak menyapaku sedikit pun. Melirikku saja sepertinya tidak sudi. "Terima kasih banyak. Aku pikir tidak ada yang mengingat hari ulang tahunku."

Dad meletakkan kuenya di atas meja di ruang tamu dan mengeluarkan ponselnya. "Lihat siapa yang ingin mengucapkan ulang tahun padamu!" Ia menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan tiga orang yang amat sangat kukenal dan tentu saja kurindukan.

"Mama! Ayah!" Aku meraih ponselnya dan menyeka air mata yang mulai menitik dari sudut mataku. Aku tidak menduga mereka akan menelepon keluargaku di Indonesia.

"Bagus, ya. Kembarannya ngga disebut," desis Zevo yang memasang wajah juteknya.

Aku tergelak. "Selamat ulang tahun, Zevonio!" Aku nyaris lupa bahwa Zevo juga berulangtahun hari ini.

"Sayang, apa kabar di sana?" tanya Mama. Aku sangat merindukannya. Jujur saja selama ini aku hanya dua atau tiga kali video call dengan keluargaku di Indonesia. Sementara Mama selalu mengirimiku pesan dan nasihat agar aku tetap menjaga arus pergaulanku di sini.

"Nia baik, Ma," jawabku. Nama Nia terdengar sangat asing di telingaku sendiri.

"Betah ngga di sana?" Kali ini Ayah yang bertanya.

Zevo tidak terlihat lagi di kamera, tetapi aku dapat mendengarnya berteriak, "BETAHLAH! KAN ADA GEBETAN NAMANYA ANDREW."

Mama dan Ayah saling tatap penuh tanda tanya. Sementara aku di sini berdoa semoga Julian, Mum, dan Dad tidak mendengar nama Andrew yang disebut-sebut Zevo meskipun mereka tidak mengerti ucapannya. Bisa gawat.

Journal: The SeasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang