Waktu makan siang pun tiba. Annika berjanji akan menemuiku di loker dan aku bersyukur tidak tersesat saat ke luar kelas menuju loker.
Kusandarkan punggungku pada pintu loker, memerhatikan para murid yang berlalu lalang melewatiku. Sebagian dari mereka melihatku sekilas, sebagian lagi mengabaikanku. Sekali lagi aku bersyukur tidak menarik perhatian.
"Hai, sudah menunggu lama, ya?" Seorang siswi berambut pirang berdiri di hadapanku dan memamerkan senyumnya. Di sebelahnya berdiri siswi lainnya yang satu kelas denganku di kelas bahasa Spanyol. Gadis berambut oranye.
"So, is she your friend?" Gadis itu menunjukku, matanya menatap Annika tak percaya. Jantungku berdegup, berani taruhan pasti dia tidak suka dengan kehadiranku. "Gosh! I was at the same class as her." Gadis itu menghalihkan matanya padaku. "Why didn't you tell me that you're Annika's friend?"
Aku melongo. Gadis berambut oranye itu tersenyum manis sambil melipat kedua tangannya di dada. "I didn't know that you're her friend," kataku dengan sejujurnya.
"I knew it, Ash." Annika tampak tidak terkejut. "Tapi aku yakin kalian belum mengenal satu sama lain," tambahnya.
Gadis berambut oranye itu meraih tanganku; berjabat tangan denganku. "I'm Ashley Stevenson. You must be Zevara Sylvianne, right?"
Err... lagi dan lagi ada yang salah menyebut namaku. "Zeva-nia Sylvi-anna," koreksiku dengan penekanan. Aku tak tahan untuk tidak mengoreksinya.
"Whatever your name is." Gadis berambut oranye yang bernama Ashley itu memutar bola matanya dan melepaskan tanganku lembut. "Nice to meet you, Zee."
"Zee? It sounds cool!" Annika menyahut antusias. Okay, Zee? Nama baru lagi. "Let's go to cafetaria because I'm so starving."
Lokasi kafetaria terletak di lantai satu, tak terlalu jauh dari barisan loker. Suasananya cukup ramai, mengingat ini sudah memasuki jam makan siang. Annika melambaikan tangannya pada dua orang cowok yang duduk di sebuah meja yang berada di tengah ruangan. Salah satu cowok itu membalas lambaian tangan Annika, yang satunya lagi hanya tersenyum tipis melihat ke arah kami.
Ashley mengajakku jalan dengan gerakan bahunya, kedua tangan kami tidak bebas karena memegang nampan makan siang. Kami bertiga berjalan berdesakkan melewati beberapa murid yang bisa dibilang menghalangi jalan. Well, itu bukan salah mereka, tempat ini memang penuh sesak. Beruntung dua cowok teman Annika dan Ashley itu telah mendapatkan meja untuk kami-atau mereka (semoga saja ada satu kursi tersisa untukku).
"Those people are so damn annoying!" Annika menaruh nampannya di atas meja. Aku duduk di antara Ashley dan Annika. Meja ini berbentuk lingkaran dengan enam kursi di sekitarnya.
"As always," timpal cowok yang tadi melambaikan tangannya pada Annika. Well, kuperhatikan dua cowok hadapanku ini memiliki wajah yang sama dengan model rambut yang sama pula. Namun, semua orang pun tahu bahwa mereka bukanlah kembar.
Annika berdeham. "Guys, this is my friend-my roommate-her name is Zeva."
Aku mengangguk dengan mengukir sebuah senyuman kikuk. "Hai." Dua cowok itu saling pandang, lalu kembali melihat ke arahku.
"I'm Tyler," kata cowok yang melambaikan tangan pada Annika. Dia juga duduk di samping Annika.
"Hi, Tyler." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Sungguh, aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
"Dylan Carter," kata cowok yang satunya lagi, yang duduk di antara Dylan dan Ashley. Dia hanya tersenyum tipis. Oke, kusimpulkan dia memang pelit senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...