Baru dua hari di London, aku sudah mengalami hal buruk. Seorang cowok bernama Dave entah sengaja atau tidak melemparkan bola basketnya ke arahku dan mengenai buku jurnalku. Kalau jatuh saja, tidak masalah. Ini... dia juga menjatuhkan gelas kopiku yang berakibat fatal. Beruntung hanya beberapa halaman saja yang basah. Kalau semua, mungkin aku akan membunuh Dave dengan cara memberinya kopi bersianida.
Ha!
Bercanda.
Aku bahkan tidak bisa membayangkannya apabila hal buruk itu benar-benar terjadi. Sumpah.
Yang membuatku jengkel lagi adalah... Dave bahkan tidak benar-benar meminta maaf padaku. Aku dapat melihatnya dari tatapan matanya. Oke. Aku mengakui dia ganteng, mirip Brooklyn Beckham. Tapi apa, sih, arti sebuah kegantengan kalau atittude-nya jelek?
Ahhh, pokoknya si Dave ini benar-benar deh.
Eh, btw aku diterima bekerja part-time di toko olahraga milik Mrs. Hansel, lhooooo! Lumayan, buat tambah-tambah uang jajan. Kali aja aku bisa "kabur" ke Manchester hehe terus ketemu Adnan Januzaj.
London, 2 September
Zeva aja🍁
Aku menatap diriku sendiri dari pantulan cermin. Kini, aku mengenakan seragam sekolah khas Inggris. Sebuah kemeja putih dan dasi bergaris yang dibalut dengan blazer hitam berlogo Islington High School, rok lipit selutut dengan stoking hitam yang membungkus kakiku, serta sepatu yang ikut diseragamkan pula.
I LOVE IT!
"Terlihat cocok padamu!" Annika berdiri di sampingku seraya menjepitkan rambut pirangnya ke sisi kirinya. Ah, mengapa dia melakukan itu? Dia terlihat lebih cantik. Maksudku, dia bahkan mirip Barbie. Aku hanya terlihat seperti bayangan siluet.
"Aku biasanya hanya mengenakan rok abu-abu dan kemeja putih, juga dasi abu-abu setiap hari Senin," ungkapku, memberitahu Annika tentang seragam di Indonesia.
"Semoga kau menikmati hari pertamamu!" Annika mengambil tasnya yang tergantung di balik pintu. "Akan kukenalkan pada Tyler, Dylan, dan Ashley!"
Aku membalikkan tubuhku. "Your squad, eh?"
Annika mengangguk sambil tersenyum.
🍁
"Jangan mengajari Zeva yang tidak baik," pesan Julian sesaat sebelum Annika dan aku keluar dari mobilnya. Kami memang diantarkan Julian, dia juga berkuliah di Oxford University. Entah apa jurusannya. Julian sangat ingin tinggal di Oxford, namun Dad tidak mengizinkannya. Jarak Islington dan Oxford memang lumayan jauh. Setidaknya itu yang dikatakan Annika.
"Aku anak baik-baik, Ju!" Annika memutar bola matanya dan menutup pintu mobil dengan membantingnya keras. Julian membunyikan klakson mobilnya, aku melambaikan tangan ke arahnya. Kemudian mobilnya melaju, meninggalkan halaman sekolah.
"Well, let's see how they look at you!" Annika jalan mendahuluiku dan aku mencoba berjalan sejajar dengannya. "Akan kuantarkan kau ke ruang Mr. Parker."
Jujur, aku merasa canggung dengan beberapa pasang mata yang mengikuti arah langkahku. Apakah aku terlihat asing? Maksudku, sebegitu terlihat kah?
Annika berhenti di depan pintu. Dia mengetuk pintunya, "Permisi." Kemudian masuk ke dalamnya seraya menggandeng tanganku.
Seorang pria paruh baya sedang sibuk dengan banyak berkas di atas mejanya. Sebuah kacamata tergantung di atas hidungnya. "Ms. Alanen? Silakan duduk."
Annika mengangguk sopan dan mengajakku untuk ikut duduk dengannya. Pria bernama Mr. Parker itu bertanya ada apa dan Annika menjelaskan semuanya, perihal kedatanganku dan sebagainya. Kemudian, Mr. Parker memintaku untuk menandatangani sebuah kertas yang kubaca dulu sebelumnya dengan baik. Setelah itu, beliau bertanya padaku apakah ada yang perlu kutanyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...