Sabtu pagi yang mendung, seperti suasana hatiku. Aku sudah menunggu-nunggu hari ini ... kunjunganku ke London Eye untuk pertama kalinya. Aku bahkan tidur lebih awal kemarin malam. Namun, tampaknya semuanya harus berakhir sia-sia. Hujan turun dengan deras membasahi kota London yang itu artinya rencanaku pergi ke London Eye bersama Annika dan Julian terpaksa dibatalkan.
"Percuma kita ke London Eye saat hujan deras seperti ini, kapsulnya akan berembun dan tidak terlihat apa-apa." Begitu kata Annika yang berhasil membuat mood-ku semakin buruk.
"Kau masih memiliki banyak waktu, Zev." Kali ini, Julian yang mencoba menghiburku. "Bukan hanya London Eye, British Museum, Big Ben, Tower Bridge, apapun yang kau inginkan akan terwujud."
"Old Trafford?" Aku tersenyum menantang.
"Eh." Julian menggaruk belakang kepalanya. "Itu untuk jangka panjang."
Senyumku luntur dan aku kembali menelungkupkan kepalaku pada bantal sofa. Rasanya ingin menangis sekencang-kencangnya. Aku tahu aku masih banyak waktu, tetapi kalau bisa sekarang mengapa tidak?
Aku menghela napas. Mungkin benar apa yang dikatakan Annika. Kalau aku tetap memaksakan naik ke London Eye, mungkin kesan pertamaku akan buruk. Salah satu daya tarik London Eye adalah pemandangan hiruk pikuk kota London itu sendiri. Apa jadinya kalau yang kulihat hanyalah kaca yang berembun?
"Kalau begitu kau membatalkan pergi ke Oxford?" tanyaku pada Julian yang tengah menbereskan kopernya di ruang tamu. Oh, aku sudah tahu jawabannya. Buru-buru aku menggelengkan kepala. "Tidak usah dijawab."
Julian terkekeh, ia melemparkan sesuatu padaku. Aku melihatnya, ternyata sebuah cokelat belgia. "Guruku bilang cokelat baik untuk memperbaiki mood. Cokelat asli dari Belgia, kampung halaman Adnan."
Senyumku merekah begitu mendengar nama Adnan disebut-sebut. "BESOK ARSENAL VS MANCHESTER UNITED!" Aku harus datang ke Emirates Stadium. Harus!
"Kau tidak punya tiket," sahut Julian dengan nada penuh ejekan.
Aku memakan cokelatnya dan berkata, "Aku akan menunggunya di depan stadion."
"Kau akan berdesakan dengan banyak orang."
"I don't care."
"Juga dengan bapak-bapak."
"I don't ca--" Aku membayangi diriku berdiri di antara bapak-bapak kepala empat ke atas yang mengenakan jersey Arsenal. "Ew, that's disgusting!"
"Coba kau telpon Dylan atau Tyler, mungkin mereka mempunyai kenalan calo tiket atau sebangsanya." Julian memberikan ide yang cukup brilian bagiku.
Mendadak aku lupa dengan rencana pergi ke London Eye. Aku bangkit dari sofa hendak ke kamar. "Terima kasih atas sarannya, Ju!" kataku dan melemparkan senyuman pada Julian. "And good luck for the college life!"
Aku berlari menuju kamarku dan mengambil ponsel yang berada di atas nakas. Kemudian, mencari nama Dylan atau Tyler. Karena di abjad huruf D di atas T, jadi aku menelepon Dylan terlebih dahulu.
Terdengar nada sambung begitu aku menempelkan ponselku pada telinga kiriku.
"Hello?"
"Dylan, it's Zeva!" kataku dengan bersemangat.
"What?" Berbanding terbalik denganku, suara Dylan terdengar seperti orang yang baru bangun tidur.
"You like Manchester United, right?"
"Uh-uh."
Aku tersenyum lebar. "Do you have ticker for tomorrow?"
"No."
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...