Aku menutup jurnal yang berisi tentang pengalamanku selama setahun di London. Kurasakan luka lama yang telah sembuh kini terbuka lagi. Siapa yang menyangka bahwa satu tahun dalam hidupmu dapat mengubah seluruh kehidupanmu?
Setelah pesawatku lepas landas dan ternyata ia sama sekali tidak muncul, kuputuskan untuk memutuskan kontakku dengannya. Aku tentu saja masih menjalin komunikasi dengan teman-temanku di London. Bahkan dengan Mum dan Dad.
Setiap kali teman-temanku mulai mengangkat cerita tentangnya, aku tidak segan untuk memutuskannya secara sepihak. Begitu terus hampir tiga tahun hingga pada akhirnya, aku bilang bahwa aku telah menemukan orang lain di Indonesia. Di kehidupan SMA-ku yang sebenarnya. Sejak saat itu mereka benar-benar tidak mengungkitnya lagi.
Atau barangkali sibuk dengan kehidupan masing-masing.
Jangan bilang aku egois dan tidak ingin mendengar penjelasan dari sudut pandang lain, tetapi ia sendiri tidak pernah mencoba menghubungiku. Memperjuangkanku. Aku bahkan tidak memblokir akun Instagramnya atau sosial media lain miliknya.
Sebab aku menunggunya.
Masih menunggunya hingga sekarang.
Selama tujuh tahun ini aku selalu menonton setiap pertandingan Arsenal. Berharap barangkali melihat sosok kiper jagoanku yang mewujudkan impiannya dan berhasil membela tim kebanggaannya.
Akan tetapi, tak ada berita apapun tentangnya. Aku tak menemukan penjaga gawang atas namanya. Dan kuakui rasa gengsi masih membebani pundakku. Aku tidak berani bertanya pada siapapun bagaimana kabarnya. Aku hanya tidak yakin apakah tindakanku benar.
Emre berhasil membela negara asalnya, Turki, di Piala Dunia serta bermain di liga lokal—ia pulang kampung. Ryan dan Mikayla pindah ke Amerika Serikat. Mereka berdua sama-sama berkecimpung di dunia jurnalistik. Ryan khusus olahraga sementara Mikayla bekerja di surat kabar ternama di New York. Kafka melanjutkan bisnis ayahnya di Malang.
The Villains sukses di dunia entertainment, mereka bahkan telah memenangkan tiga piala BRIT Awards dan tur dunia. Aku sempat datang ke konsernya di Singapura tiga tahun lalu karena Indonesia tidak masuk ke list tur dunianya. Ashley masih aktif di vlog-nya yang kini subscriber-nya telah bertambah sebanyak 8 juta.
Sementara aku bekerja di majalah remaja. Setiap hari pulang-pergi Jakarta-Bogor. Aku cukup menikmati pekerjaanku. Setidaknya aku sudah mengunjungi beberapa kota di seluruh Indonesia. Dan berharap suatu saat nanti dapat keluar negeri. London misalnya.
Aku memandangi kotak merah itu lagi. Kotak yang entah bagaimana caranya masuk ke dalam koperku dan baru kusadari saat membongkar koper sesampainya di Indonesia. Dan dari kotak itu pula aku menemukan kembali jurnalku.
Percaya atau tidak, aku tidak berani menyentuh kotak itu selain untuk mengambil jurnal. Pasalnya, tepat di bawah jurnalku, terdapat sebuah foto yang diambil di photoboth saat prom. Fotoku dengannya. Dan dari situ aku tahu bahwa kotak ini darinya. Begitu juga dengan jurnalku.
Aku menghela napas berat. "Kau bisa lakukan ini, Zeva." Kutarik kotak itu agar mendekat. Meraih fotoku dengannya yang tersenyum lepas seolah tidak akan pernah terpisah atau dipisahkan atau bahkan memisahkan.
Selain jurnalku dan foto, terdapat satu barang lagi yang selama ini belum pernah kusentuh. Barang tersebut masih terbungkus rapi dengan kertas kado bersampul Menara Eiffel. Kusimpulkan ia mendapatkannya dari kakaknya.
Pernahkah kau lebih memilih untuk tidak mengetahui tentang satu hal sebab takut hal tersebut merupakan mimpi buruk untukmu? Itulah yang kurasakan selama ini. Namun, kita tidak boleh menutup mata dan telinga untuk kebenaran, bukan? Setidaknya tidak untuk selamanya.
Perlahan jari-jariku membuka kertas kado yang selama tujuh tahun ini membungkus barang tersebut. Warna serta gambarnya pun memudar.
Dan isinya benar-benar membuatku bungkam. Ia selalu memberiku kejutan. Entah itu sikapnya yang berubah-ubah atau kehadirannya yang tak terduga. Mungkin itulah kelebihannya.
Sebuah buku jurnal yang bukan milikku kini berada di tanganku. Ini memang bukan jurnalku, tetapi jurnal ini dariku. Aku memberinya sebagai hadiah ulang tahun dan ia malah mengembalikannya padaku?
Satu hal yang di luar dugaan lagi, bukan?
Sampul jurnalnya hitam polos tanpa ada stiker London. Kutebak isinya bukan hanya kertas-kertas biasa sebab jurnal ini menggelembung. Membuatnya terlihat lebih besar dari jurnal milikku.
Kubuka sampulnya depannya. Aku bersumpah apabila ia menjadi seorang penulis, bukunya akan banyak peminat dan meledak di pasaran. Halaman depannya berhasil menarik perhatian pembaca.
Rasanya tidak adil membaca jurnalmu sementara kau tidak membaca jurnalku. Maka dari itu, kutulis jurnal ini hanya untukmu.
SELESAI.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...