Keesokan harinya aku berangkat sekolah diantar oleh Mum bersama Annika, yang selama dua hari belakangan ini menginap di rumah Ashley dan meninggalkanku sendirian. Setidaknya dua hari karantina itu membuahkan hasil. The Villains setuju mengikuti festival itu dan mereka sudah mengirimkan demonya kemarin. Mungkin itu juga sebabnya Keira tidak hadir di pertandingan kemarin.
Plus, pulang sekolah ini aku akan menyaksikan mereka latihan membawakan lagu baru yang baru ditulis dua hari kemarin.
"Jangan lupa. Pulang sekolah." Annika melambaikan tangannya ketika kami berpisah untuk ke kelas masing-masing, Mengucapkan kalimat yang sudah kudengar selama lebih dari lima kali pagi ini. Ia tak henti-hentinya mengingatkanku untuk hadir di sesi latihannya.
Aku berjalan menaiki tangga ke lantai dua. Letak di mana kelas bahasa Spanyol berada. Ketika hendak memasuki ruangan kelasnya, tiba-tiba seseorang menarik tanganku dan kembali keluar kelas. Aku hampir saja menyumpahinya sebelum menyadari bahwa orang yang menarik tanganku adalah Kafka yang mengukir sebuah cengiran lebar di wajahnya. "Kenapa narik-narik sih?!" protesku melepaskan tanganku darinya dan melipatnya di depan dada.
Kafka bersandar pada dinding sekolah yang dihiasi dengan poster anti narkoba yang ditulis dengan bahasa Spanyol. "Lo kenapa pulang duluan kemarin?"
Aku membisu. Tidak tahu harus menjawab apa. Apakah Kafka tahu perihal kematian Dave? Apakah Kafka tahu akulah penyebab kematiannya? "Gue sakit perut. Sumbilangen."
Sumilangen adalah istilah dalam bahasa Sunda ketika perempuan sedang dalam masa menstruasi. Tidak peduli apakah Kafka paham atau tidak sebagai laki-laki dan tidak bisa berbahasa Sunda.
Cowok itu tidak berkata apa-apa lagi. Hanya diam menatapku penuh selidik. Kemudian tatapan itu berubah memancarkan kebahagiaan. "Sayang banget lo ngga liat gue ngejebolin gawang lawan dan menyelamatkan sekolah kita dari kekalahan dan ... hai, Andrew!"—aku mengikuti arah mata Kafka ke arah belakangku. Andrew berjalan kemari. Kami memang sekelas di kelas bahasa Spanyol.
"You're rock, mate!" Andrew bertos ria dengan Kafka dan dilanjut sebuah pelukan khas cowok. "Too bad she left earlier so she didn't see your goal."
Ia menatapku sekilas, kemudian kembali pada Kafka. "Aight. See ya later!" Andrew memasuki ruang kelas.
Bel tanda kelas pertama akan dimulai berbunyi. "Pokoknya itu. Pertandingan selanjutnya, lo ngga boleh pulang duluan. Lagian home match. Dadah, Zeva!" Kafka berlari meninggalkanku di lorong yang sudah nyaris sepi.
Otakku berputar hebat. Mencari alasan apalagi untuk menghindari pertandingan itu.
❄
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku segera membereskan semua alat tulis dan memasukkan semuanya ke dalam tas dengan terburu-buru. Aku tidak ingin melewatkan barang satu detik pun dari waktu latihan The Villains meskipun mungkin saja mereka menungguku. Tapi tetap saja aku tidak ingin membuat mereka menungguku lebih lama lagi.
Aku tak hentinya mengucapkan kalimat maaf, seperti: "I'm sorry! Sorry! Sorry! Oops!" ketika kurasakan bahuku menabrak beberapa siswa yang memenuhi lorong sekolah. Sekarang adalah waktu pulang sekolah, jadi wajar lorong penuh sesak antara para siswa. Aku sempat mendengar ada beberapa yang membalasku dengan balasan singkat, "It's fine." Ada juga yang mendengus kesal, juga mengabaikanku.
Namun, hanya satu orang yang menjegatku. Hanya satu.
"Wait! Tunggu-tunggu!" Ia melebarkan tangannya menghalangiku.
Orang itu adalah Kafka Renaldi. Ia menjegatku di depan ruang olahraga yang juga dipakai markas anak futsal. Seharusnya aku tidak melewati jalan ini dan memilih jalan lainnya. Pada jam-jam ini juga pasti mereka berkumpul di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...