31 | Kafka

1.1K 229 22
                                    

Aku tidak tahu harus berkata apa lagi atau melakukan apa lagi kalau-kalau nanti bertemu dengan Andrew, bahkan Keira. Apakah aku harus membuang muka atau berpura-pura bahwa tidak pernah terjadi apa-apa. Berpura-pura bahwa perasaan ini tidak pernah ada atau aku harus benar-benar menghilangkan perasaan ini.

Keira sudah kuanggap seperti sahabat sendiri, meski kami sudah jarang bersama lagi. Sejak dulu, setiap aku menyukai seseorang dan ternyata teman dekatku juga menyukai orang itu, perasaanku pada orang itu tiba-tiba lenyap begitu saja.

Dan mau tak mau, aku harus melakukan itu lagi.

Bukan salah Keira juga ia menyukai Andrew dan aku tidak punya hak untuk melarang Andrew dekat dengan siapapun. Dalam kasus ini, barangkali aku yang bersalah atau setidaknya harus mengalah.

Tiba-tiba terlintas pada benakku sebuah pertanyaan: apakah Keira masih berlatih bersama The Villains? Sudah lama aku tidak melihat mereka berlatih atau aku yang terlalu egois memikirkan diriku sendiri sehingga melupakan teman-temanku. "Omong-omong apakah kalian masih berlatih bersama Keira?"

"Ya, dia membuat lagu untuk kami dan itu sangat keren," seru Ashley, "kau harus mendengarnya, Zee!" Ia menyerahkan ponselnya padaku.

"Sure!" Aku menerima ponsel Ashley yang memutar lagu buatan Keira. "It sounds like Taylor Swift's song."

"My reputation's never been worse, so you must like me for me." Tiba-tiba Keira sudah berada di samping kanan ku, duduk di atas satu-satunya kursi yang masih tersisa. Seolah kursi itu memang disisakan untuknya. "Kau sudah dengar lagunya? Aku memang terinspirasi dari album Reputation," timbrungnya. Mengingat dia memanglah seorang Swiftie.

"Aku suka albumnya," kata Annika dari sebelah kiriku.

Aku mengambalikan ponsel milik Ashley ke yang punyanya. "Kau memutar lagu King of My Heart setiap pagi," timpalku, mencoba masuk ke dalam topik pembicaraan ini. Annika mengganti lirik "so prove to me I'm your American Queen" menjadi "so prove to me I'm your Scandinavian Queen" yang sebenarnya tidak terlalu pas kalau dinyanyikan dan terkesan memaksa.

"Tyler, kau sudah bertemu dengan Mr. Stark?" Dylan mengganti topik pembicaraan secara tidak langsung. matanya fokus pada layar ponselnya, sementara dahinya berkerut dalam.

"Belum," jawab Tyler dengan nada santai, berbeda dengan Dylan yang terlihat panik.

Dylan memasukkan ponselnya pada saku jas. Ia berdiri dan merapikan nampannya. "Tugasnya terakhir dikumpulkan jam 2. Ayo, O'Connor!" Tanpa berpamitan, lelaki itu berlalu begitu saja. Setengah berlari keluar kantin.

"TUNGGU, CARTER!" Tyler merapikan nampannya dengan terburu-buru, ia pasti akan menyusul sohibnya aka Dylan. "Bye, girls—ough!" Kakinya tersandung kursi, masih untung ia tidak terjatuh dan memalukan dirinya sendiri.

"Boys," gumam Annika sambil menggelengkan kepala memandangi kepergian dua kawannya itu.

"Ada apa dengan mereka?" tanyaku. Baru kali ini aku melihat Tyler dan Dylan panik seperti itu.

"Tugas tambahan di kelas Fisika. Semacam itu." Ashley mengangkat bahunya, nampaknya ia juga tidak ingin ambil pusing.

"Zeva, kau sudah mendengar kabar ada murid asal Indonesia bernama . . . Cal—Calum atau Calvin atau—Cal"

"Kafka," potongku tak tahan untuk tidak mengoreksi kesalahan nama Kafka yang dilafalkan Keira. Apakah sebegitu sulitnya melafalkan nama Indonesia? "Kafka Renaldi."

"Ya! Kau sudah mendengarnya, ya."

Keren. Aku penasaran, apakah berita saat aku baru masuk sekolah ini juga menyebar begitu cepat seperti Kafka?

Journal: The SeasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang