Well, sejauh ini, kurasa aku akan merasa nyaman tinggal bersama keluarga asing. Mereka menyambutku dengan sangat baik. Aku disediakan sebuah kamar yang mereka desain khusus untukku sebelum kedatanganku. Kami memang sempat berkomunikasi via e-mail.
Aku meminta kamarku dicat warna merah darah, bukannya aku psikopat atau apa, tapi aku memang menyukai warna merah. Dan, untuk barang-barangnya, aku tidak meminta apapun. Terserah mereka. Dan oh iya, aku juga harus berbagi kamar dengan Annika karena keterbatasan ruangan. Tidak masalah bagiku.
Dan, satu hal yang membuatku merasa sangat nyaman, Mr. dan Mrs. Alanen memintaku memanggil mereka dengan sebutan Mum dan Dad saja. Karena memang canggung memanggil mereka dengan sebutan Mr. dan Mrs Alanen. Julian memang masih cuek padaku, tapi aku tahu dia sebenarnya baik. Sedangkan Annika ... dia terlalu baik. Katanya, aku bisa menganggapnya sebagai kembaran-yang-amat-sangat-tidak-identik dan juga menganggap Julian seperti kakak kandungku sendiri.
Aku tidak keberatan menganggap mereka seperti keluarga keduaku selama mereka memang pantas disebut keluarga. Maksudku, tentu saja mereka pantas, mereka sangat kompak dan menyambutku hangat sebagai bagian dari mereka.
Rumah Alanen, London, 2 September
- Zev Sylv xo🍁
Aku menertawai diriku sendiri melihat nickname baru yang terlihat dipaksakan: Zev Sylv.
Sampai saat ini, belum ada satu orang pun selain aku yang pernah membaca jurnalku. Pertama, aku selalu menyimpannya di tempat yang telah kupastikan aman dan kedua, aku tidak pernah menunjukkan buku ini kepada orang lain atau menulisnya di depan orang lain. Jadi, kecil kemungkinan ada yang pernah membacanya. Kecuali, orang itu terlalu iseng menggeledah isi kamarku.
Aku takut salah satu anggota Keluarga Asing menenemukan jurnalku lalu membacanya. Akan tetapi, tidak apa-apa juga, sih. Toh, aku menulisnya dalam bahasa Indonesia yang tidak mereka mengerti.
"Kau mau pergi ke mana?" tanyaku begitu melihat Annika memasuki kamar dan menguncir kuda rambut pirang panjangnya di depan cermin.
"Bekerja," jawabnya singkat tanpa menoleh ke arahku. "Buku apa itu?" Annika berbalik, menunjuk buku jurnal yang berada di pangkuanku. "Diary?"
"Semacam itu." Aku mengangkat bahuku. Annika hanya meng-oh-kanku dan kembali fokus merapikan baju yang dikenakannya. Oke, ini canggung. Jadi aku harus mencari sebuah topik pembicaraan. "Bolehkan aku ikut denganmu?" pintaku tiba-tiba, memandangi pantulan wajahnya dari cermin. "Kau tahulah nilai Rupiah tidak ada apa-apanya dibandingkan Poundsterling."
Annika memalingkan wajahnya ke arahku dan terlihat shock, seolah-olah aku meminta nyawanya. "Kau serius?" Aku mengangguk meyakinkannya. "Okay, get ready. Let's go!" Dia meraih tas selempang miliknya yang tergantung di dinding dan melangkah keluar kamar. Diikuti denganku di belakangnya. Aku memasukkan jurnalku ke dalam tas milikku.
🍁
Annika dan aku turun di sebuah halte. Kami menaiki bus bertingkat atau biasa disebut double decker berwarna merah khas London. Mum memberiku sebuah kartu untuk pelajar, kalau tidak salah namanya olyster card. Entahlah. Kartu itu dapat memberi kita potongan harga untuk naik transportasi umum atau semacamnya. Apalagi aku merupakan pelajar asing.
Rasanya biasa saja menaiki bus ala-ala London, maksudku sama saja seperti bus kebanyakan di Indonesia. Bus ini tidak melayang seperti di film fiksi ilmiah. Namun, kesannya itu yang membuatku merasa seperti di musik videonya One Thing milik One Direction!
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...