Soundtrack for this chapter :
Dancing With Our Hands Tied by Taylor Swift
—
Tidak pernah terpikirkan oleh benakku bahwa pura-pura tersenyum di depan kamera akan sesulit ini. Tidak jika Andrew-lah yang berdiri di sampingku. Ditambah tuntutan fotografer prom yang meminta Andrew melingkarkan tangannya di pinggangku sementara aku menggenggam lengan kirinya.
Ini semua adalah ide Mikayla dan Ryan. Saat di perjalanan menuju hotel tempat berlangsungnya prom, Mikayla dengan santainya berkata, "Oke, jadi aku akan berjalan di karpet merah bersama Ryan. Ashley bersama Tyler, dan Annika bersama Dylan. Zeva?"
Pertanyaan Mikayla yang dilemparkan padaku sontak menarik perhatian seluruh jagat raya—maksudku yang lainnya menaruh perhatian padaku. Termasuk Andrew. Aku mengangkat bahu. "Daniel Seavey," jawabku asal.
"Astaga," gerutu Ashley. Beruntung ia tidak merekam momen ini untuk dibagikan kepada dua ratus ribu subscriber-nya.
"Bagaimana denganmu, Andrew?" Kali ini Ryan yang bertanya pada sang pemilik mata biru laut itu, yang kini mengalihkan matanya pada penanya.
Andrew tidak menjawabnya. Hal tersebut sepertinya membuat Tyler gerah. "Katakan saja Andrew akan berjalan bersama Zeva."
Kulihat Ashley berusaha menahan tawanya begitu juga dengan Annika dan Mikayla. Aku tidak berani menatap Andrew jadi kuputuskan untuk menyenderkan kepalaku pada jendela mobil dan memandang ke sepanjang jalan. Beruntung cowok itu tidak duduk di sampingku.
Tapi ia berdiri di sebelahku di atas karpet merah khas acara penghargaan Hollywood. Pihak penyelenggara prom sengaja membuat yang berbeda untuk tahun ini dan barangkali tahun-tahun berikutnya.
Setelah berupaya untuk tersenyum senormal mungkin di samping Andrew, sekarang aku berfoto berempat bersama Annika, Ashley, dan Mikayla di atas karpet merah. Kali ini senyumanku lebih terasa bebas dan tanpa beban. Bukannya aku tidak suka dengan Andrew, tetapi bertingkah normal di sebelah orang yang kusuka merupakan hal tersulit dalam hidupku.
Astaga. Apa yang baru kukatakan?
Sekarang kami berfoto bersama para cowok juga. Termasuk Kafka, Emre, dan Ashton—yang baru saja diputusi pacarnya dua hari yang lalu sebab tidak bisa menyewa Lamborghini untuk prom. Ashton bercerita ia mengacungkan jari tengahnya pada mantan pacarnya sesaat sebelum menaiki Limousine Ashley. Cowok itu bahkan tidak sudi menyebut namanya dan melarang kami juga.
Hotel yang disewa berbeda dari ekspetasiku. Kupikir mereka akan menyewa hotel klasik khas London di tengah kota. Ternyata mereka menyewa sebuah cottage besar yang berada di pinggir kota London. Perjalanannya pun menempuh waktu satu setengah jam. Suasananya sepi. Seperti villa di Puncak.
Ketika memasuki cottage, kami disambut oleh puluhan meja berbentuk lingkaran seperti di kafetaria. Bedanya kali ini meja tersebut dilapisi kain putih, begitu juga dengan kursi yang melingkar di sekeliling meja. Terdapat 3 balon yang melayang di setiap meja. Balon berbentuk hati berwarna merah serta dua balon biasa berwarna putih dan hitam.
Aku berjalan mengikuti Annika melewati beberapa meja lain hingga berhenti di salah satu meja. Di atas meja tersebut sudah ada kartu yang bertuliskan nama para murid. Aku duduk di kursi yang beratasnamaku. Di samping kiriku ada Annika dan kananku adalah Andrew.
Dan aku tidak terkejut sama sekali.
Seraya menunggu mobil lainnya yang belum sampai, Mikayla mengajak kami ke halaman belakang cottage. Hamparan lapangan hijau yang membentang luas menjadi pemandangan indah cottage ini. Plus, terdapat sebuah danau kecil yang dihiasi bunga teratai di dekat balkon cottage yang berlantai kayu. Rasanya benar-benar berada di Puncak, Bogor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...