I JUST... JUST CAN'T BELIEVE THAT I'M LIVING MY BIGGEST DREAM AKA VISITING LONDON!
Bukan, bukan hanya sekadar 'visit' tapi aku juga akan belajar setahun penuh di London berkat beasiswa pemberian bos ayahku dan tentu saja aku tidak menolaknya. Butuh perjuangan keras untuk mendapatkan beasiswa ini, terutama bersaing dengan anak karyawan lain dan oh, mendapat restu dari ibuku yang amat sangat sayang padaku, putri tunggalnya.
Dan kini, aku duduk di kursi Terminal 4 Bandara Heathrow, London, seorang diri menunggu seseorang yang 'katanya' akan menjadi keluarga angkatku selama di Inggris-aku menyebut mereka 'Keluarga Asing'-dan sudah sekitar setengah jam aku menunggu.
Anyway, seorang lelaki-mungkin seumuran denganku-dia duduk di sampingku sambil mendengarkan musik dan kakinya memainkan skateboard. Mungkin dia sedang menunggu seseorang juga. Entahlah.
Hari pertama di London, 1 September
- Zevania Sylvianna xo
🍁
Aku menutup buku jurnalku dan memasukannya ke dalam tas selempang, juga dengan pulpen yang baru kubeli sehari sebelum keberangkatanku (dan aku berharap pulpen itu tidak hilang karena sayang, masih baru).
Sambil mengetukkan kaki kananku dengan bosan, aku memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang bebas melewatiku. Yup, Bandara Heathrow memang termasuk ke dalam salah satu bandara tersibuk di dunia. Tak heran jika dari awal aku menginjakkan kakiku di tanah Inggris ini, aku hampir bertabrakan dengan beberapa orang yang berjalan cepat.
Namun, ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya dalam benakku: Mengapa sebagian dari orang-orang itu melirikku seolah mereka sedang menyaksikan seekor hewan langka yang lepas dari kandangnya?
Terdengar suara nada dering ponsel berbunyi. Aku yakin itu bukan nada dering ponselku-terakhir kali aku cek, ponselku masih ku-setting mode pesawat-dan ternyata berasal dari ponsel seorang cowok yang duduk di sampingku. Aku menolehkan kepalaku padanya, ia menempelkan ponselnya di telinga kirinya.
"Hey, Kate." Cowok itu membuka suara dan larut pada pembincangannya dengan orang yang kutebak bernama Kate itu dengan aksen british-nya yang kental.
Dan, oh, aku sangat menyukai aksen british yang terkesan patah-patah secara alamiah. Aku berharap selama di Inggris, aksen anehku akan berubah menjadi british dengan sendirinya, mengingat aku akan dikelilingi oleh orang-orang yang berbicara dengan bahasa Inggris seharian penuh, sepanjang tahun. Membayanginya saja membuatku benar-benar merasa manusia paling beruntung.
Tanpa tersadar, aku terus memperhatikan cowok itu; gerak-geriknya, topi merah yang membungkus rambut brunette-nya, kemeja biru dongker yang membalut kaus putihnya, celana jins pasaraan-maksudku, setiap cowok pasti menpunyai jins, 'kan?-dan tak lupa sepasang sepatu sport keluaran pabrikan yang Jerman membuat tampilannya terlihat menarik.
Satu kata yang ada di benakku begitu melihatnya: stylish.
Inggris memang terkenal dengan dunia fashion-nya yang membuatnya, terutama London, menjadi salah satu kiblat fashion dunia. Namun, bukan itu yang membuatku jatuh cinta dengan negara Ratu Elizabeth II ini. Aku menyukai Inggris karena...
...sepak bolanya.
"Zevania Sylvianna?"
Seseorang membuatku sedikit tersentak karena menyebut namaku, segera kualihkan arah pandangku pada sumber suara. Berdiri seorang cowok berambut pirang yang tengah menunjukkanku sebuah sendok.
Well, aku yang memintanya jauh-jauh hari sebelum keberangkatanku, sebut saja sebagai kode rahasia yang hanya diketahui olehku dan anggota Keluarga Asing. Aku takut orang yang menjemputku di London adalah seorang penculik asal Albania yang akan menculikku lalu menjualku ke mafia kelas kakap seperti di film Taken. Perbedaannya, ayahku hanyalah seorang karyawan swasta, bukan mantan agen FBI.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...