Janggal.
Itulah yang pertama kali kurasakan kala menduduki meja makan di kafetaria saat makan siang seperti biasa. Tidak. Ada yang tidak biasa. Meja yang biasanya berisi lima sampai enam orang—kadang Keira ikut makan bersama—kini hanya tiga kursi yang terisi. Ashley, Tyler, dan aku. Aku tidak terlalu peduli ke mana perginya Keira dan segala tetek bengeknya. Barangkali ia menemani Andrew makan siang di lapangan. Yang kupedulikan adalah keberadaan Annika dan Dylan, yang biasanya meramaikan meja ini dengan kebiasaan mereka sendiri: Annika, yang menjadi pendengar terbaik di antara kami dan Dylan, yang menjadi penyimak terbaik di antara kami.
Apa bedanya antara pendengar dan penyimak? Dalam kasus ini sama. Setelah mendengarkan apapun yang dibicarakan kami, Annika selalu mengutarakan pendapatnya atau sarannya. Harus kuakui itu sangat membantu. Berbeda Dengan Dylan yang hanya menyimak. Ia akan memberi pendapatnya apabila ada salah satu di antara kami yang bertanya. Kendati demikian, aku tahu Dylan sebenarnya peduli. Ia hanya tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Beberapa orang memang tidak dapat menunjukkan bahwa mereka sebenarnya peduli.
Annika jelas masuk sekolah karena kami memang berangkat bareng diantar oleh Mum. Sementara kata Tyler, ia juga tadi berpapasan dengan Dylan di toilet. Tapi anak itu tidak membalas sapaan Tyler layaknya tak saling mengenal (dan Tyler terus mengiriminya pesan sumpah serapah pasca kejadian tersebut.) dan anehnya, Dylan tidak membalas pesannya. Jadi dapat kusimpulkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang tidak diketahui olehku, Ashley, dan Tyler.
"Coba kauingat-ingat lagi, Zee, apakah Annika bilang sesuatu padamu?" usul Ashley, yang langsung disetujui oleh Tyler dengan beberapa kali anggukan kepala.
Aku menerima usulannya. Mataku menerawang ke segala arah, seolah dengan cara demikian dapat memberiku ilham dan jawaban hasil terawanganku. Aku mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin . . . semuanya berjalan lancar dan tidak ada yang aneh. Kecuali di bagian Keira yang terus meneriaki nama Andrew di lapangan. Itu tidak ada sangkut pautnya dalam kasus ini. Atau Kafka yang mengajak pulang bareng tapi ternyata rumah kami berbeda arah. Itu juga tidak memberi petunjuk apapun.
Lalu aku mengingat saat sampai di rumah. Julian masih berlibur di rumah, ia menghabiskan waktu dengan bermain Xbox—di kampus ia tidak punya waktu untuk bermain-main—dan mengajakku ikut dan melawannya, tapi aku malas. Apakah Xbox dan PlayStation itu sama? Aku gengsi bertanya itu pada Julian karena berujung dengan ejekan maut yang dilontarkannya. Sifatnya itu terkadang sama dengan Zevo.
Mungkin kemarin adalah hari termalas di Keluarga Asing. Oleh sebab itu, Mum juga tidak memasak. Dad ada di rumah. Ia memesan pizza untuk makan malam dan semuanya senang nan berbahagia. Termasuk Annika.
Tunggu-tunggu. Ada satu momen yang kulewatkan. Ketika pulang sekolah, Annika pulang terlambat dan bajunya basah kuyup akibat kehujanan. Ia pulang hampir malam. Kupikir ia sampai di rumah duluan karena aku terjebak bersama Kafka di sekolah.
Ketika sampai di kamar, wajahnya memerah dan ia memelukku erat. Aku bertanya ada apa, tapi ia tidak menjawabnya. Pelukannya semakin erat dan tangisannya pun semakin terdengar mendalam. Aku tahu Annika belum mau atau belum mampu bercerita, jadinya aku diam dan membiarkannya menumpahkan segala emosinya di bahuku.
Pasca tangisnya mereda, khawatir Annika akan jatuh sakit dengan baju yang basah, aku menyarankannya untuk mandi dan berganti baju. Saat keluar kamar mandi, wajahnya cerah kembali dan tidak terlihat ada bekas ia baru saja menangis. Kami langsung turun setelah Julian berteriak bahwa pizza sudah datang dan Annika benar-benar dapar menyembunyikan perasaannya di depan keluarganya. Ia beberapa kali bertengkar dengan Julian karena saling memperebutkan pizza.
Dan itu jawabannya. "Annika pulang terlambat kemarin. Dia menangis dan aku tidak tahu penyebabnya," ungkapku setelah mengingatnya.
Dahi Ashley mengerut dalam. "Annika tidak bilang apa-apa padaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...