Kurapatkan jaketku ketika angin musim gugur berhembus. Setelah kucek di BBC Weather, suhu hari ini berkisar antara 6°C sampai 11°C. Mungkin biasa bagi Annika, tetapi tidak bagiku.
Annika tertawa melihatku kedinginan sepanjang perjalanan dari halaman sekolah menuju ke pintu masuk sekolah. "Kau tahu, aku pernah merasakan bagaimana rasanya darahku membeku dengan suhu -30°C di Kuopio."
Kuopio adalah kota kelahiran Annika di Finlandia. Aku bergidik ngeri begitu mendengarnya. Sudah kubilang suhu terdingin yang pernah kurasakan di Indonesia adalah 18°C di ruangan ber-AC.
Kendati Inggris—atau lebih tepatnya London—tidak sedingin Eropa Utara seperti Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Russia ketika musim dingin, kurasa tubuhku tetap perlu beradaptasi dengan ekstra. Saat di musim panas, London pun tidak sepanas Spanyol dan negara-negara Eropa Selatan. Dan, aku bersyukur dengan itu.
"What about the hottest weather?" tanyaku.
"About 40°C," jawab Annika. "Finlandia sangat luas. Di daerah utara seperti di Lappi lebih dingin, sedangkan di selatan seperti Helsinki lebih hangat. Kuopio terletak di tengah-tengah."
"40°C? Panas sekali," sahutku. "Di Bogor hanya 33°C."
Annika menggeleng. "Suhu tertinggi dan terendah itu hanya berlangsung selama satu sampai dua hari saja, efek global warming," tuturnya.
Aku hanya ber-oh panjang. Iklim, cuaca, dan suhu tidak menarik minatku, tetapi aku tertarik dengan geografi secara umumnya. Kalau boleh sombong, aku unggul dalam bidang mengingat letak wilayah negara, ibukotanya, bentuk negaranya, dan sebagainya. Sudah kuputuskan bahwa aku akan memilih masuk IPS dibandingkan IPA ketika masuk SMA di Indonesia nanti.
Aku juga suka belajar tentang budaya dan bahasa suatu negara. Itulah sebabnya aku bersyukur memiliki kesempatan bersekolah di Inggris dan tidak akan kusia-siakan.
Adnan Januzaj, I'm coming with my weave!
🍁
Aku memasuki kelas Musik dengan santai karena tidak telat seperti kemarin. Sumpah demi Zlatan Ibrahimovic aka God of Manchester, aku tidak akan pernah telat bangun lagi.
Jauh-jauh hari sebelum keberangkatanku ke London, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menghindari begadang. Di Indonesia aku selalu begadang untuk menonton pertandingan sepak bola, tapi sekarang di Inggris aku tidak perlu begadang lagi.
Because timezone doesn't suck anymore.
Seorang gadis berambut cokelat panjang melambaikan tangan padaku. Aku menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Berarti memang padaku. Ia tersenyum dan menyebut namaku. "Come here, Zevania!" serunya. Ada rasa tidak terima ketika ia memanggilku Zevania, mengingatkanku pada seseorang.
Aku berjalan mendekatinya dan mencermati wajahnya. "Keira?" Ia tersenyum. Ya ampun, bagaimana mungkin aku melupakan wajahnya dalam waktu kurang dari seminggu?
Well, aku memang tipe orang yang mudah melupakan wajah seseorang yang baru kutemui sekali atau dua kali tapi mengingat namanya. Ketika bertemu lagi, baru aku mengingatnya.
Yang lebih parahnya lagi... waktu aku kelas 3 SD, aku pernah menyukai seseorang yang rumahnya dekat dengan sekolahku, tetapi sulit bagiku untuk mengingat wajahnya, kecuali ketika bertemu lagi setiap pulang sekolah (aku tidak ingin menyebut namanya meskipun aku ingat namanya tapi lagi-lagi aku lupa bagaimana wujudnya).
"Kita sekelas di kelas musik?" Aku bertanya demikian karena minggu lalu aku tidak melihat Keira di kelas menyenangkan-sekaligus-membosankan ini.
"Aku tidak masuk waktu itu," katanya. Kemudian, ia menyuruhku duduk di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...