29 | Shocked

1.3K 247 28
                                    

Seiring berjalannya waktu, aku mulai dapat beradaptasi dengan baik terhadap perubahan suhu di London, yang bisa dibilang tidak terlalu ekstrem saat musim dingin. Setidaknya bagiku suhu di bawah dua puluh lima derajat celcius sudah termasuk dingin. Salju tidak begitu sering turun dan itu membuatku kecewa. Maksudku, aku benci dingin, tetapi merasakan hujan salju adalah sebuah pengecualian.

Keluarga Asing pulang ke Finlandia dan menghabiskan waktu selama seminggu di sana bersama keluarga besar mereka untuk merayakan natal. Tadinya mereka mengajakku, tetapi aku tidak merayakannya dan aku khawatir malah jadi pengganggu di hari suka cita mereka. 

Aku bisa saja tinggal sendiri di rumah, tetapi Mum tidak mengizinkannya hingga sampailah kabarku ini ke telinga keluarga Aksov. Sudah dua hari ini aku tinggal di rumah keluarga Emre dan berbagi kamar dengan Aleyna, sepupu perempuan Emre yang ternyata sangat ramah.  Kini aku tinggal di Keluarga Asing lainnya. Mereka menyambutku dengan sangat ramah dan keluarga Emre memang sangat religius.

Tidak enak hanya menumpang saja, aku bekerja secara sukarela di The Aksov.

Saat hendak menutup tirai jendela kafe karena sudah waktunya tutup, aku melihat Andrew berjalan seorang diri ke arah sini. Emre memang sudah bilang bahwa Andrew akan mengambil espresso macchiato pesanannya pada pukul delapan dan sekarang sudah pukul delapan malam. Segera aku mengambil mantel dan pesanan Andrew yang sudah siap di atas meja kasir.

Ketika baru saja mendorong sedikit pintu kafe, langkah kakiku terhenti begitu melihat seorang perempuan mencium pipi Andrew dan memeluknya lumayan lama. Kemudian ia memberikan sebuah bingkisan untuk Andrew. Mungkin hadiah natal. Entahlah. Dia memeluk Andrew sekali lagi dan begitu membalikkan tubuh, ternyata gadis itu adalah Keira.

Kukatup mulutku dan kembali menutup pintu kafe dengan perlahan agar tidak menimbulkan bunyi. Malam ini tidak begitu dingin, tetapi aku hawa di sekitarku panas padahal penghangat ruangannya sudah mati. 

Ayolah, Zeva. Ini di London. Sudah biasa orang-orang mencium pipi dan berpelukan. Bodoh sekali kalau aku masih berpikiran bahwa cara bergaul orang-orang di sini sama seperti di Indonesia. Bagaimana pun juga Andrew pasti hidup dalam kebiasaan baratnya yang penuh kebebasan. Berbeda denganku.

Aku meletakkan espresso macchiato di atas meja kasir sambil menahan rasa sesak di dada. Baru kali ini aku merasa seperti ini setelah Adnan Januzaj dilepas Manchester United secara permanen ke Real Sociedad. Tidak, tidak. Bahkan rasanya berkali-kali lebih menyesakkan.

"Hai, Zevania."

Jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat. Suara itu. Suara orang yang menyebabkan ini semua. 

Aku membalikkan tubuhku ke arahnya dan mencoba bersikap bahwa aku tidak tahu apa-apa. Namun, sepertinya gagal begitu melihat sebuah bingkisan di tangan Andrew. Itu pasti hadiah yang tadi diberikan Keira untuknya.

"Espresso macchiato milikmu." Aku menggeser sedikit gelas espresso macchiato pesanan Andrew mendekat ke arahnya. "Emre ada di dalam. Selamat malam."

Aku berlalu begitu saja ke luar kafe tanpa melihat wajah Andrew atau menunggunya membalas ucapan selamat malam padaku. Duh, apakah dia akan membalasnya? Tidak mungkin, Zeva. Aku juga tidak kuasa menatap mata biru-lautnya yang rasanya memiliki daya magis bagiku.

Hatiku memilih untuk menolaknya setelah kenangan manis yang tercipta di Winter Wonderland. Seharusnya aku sudah menduganya bahwa Andrew akan kembali seperti ini. Aku baru mengetahui satu hal. Menyadari bahwa Andrew tak jauh berbeda dari Dave.

"Kau tidak ingin menonton pertandingan boxing day, Zeva?" Emre ikut duduk di sampingku sambil mengganti saluran TV yang menayangkan pertandingan Manchester United melawan Arsenal. Pasalnya aku hanya berdiam diri sambil memandang tayangan berita yang sejujurnya tidak kumengerti.

Journal: The SeasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang