Aku tidak pernah menyangka bahwa Ashley berasal dari keluarga terpandang sebelum mengunjungi rumahnya pada hari ulang tahunnya dan Sabtu malam ini, kami menginap di rumahnya dan menyebutnya sebagai "girls' take over the night". Kami yang dimaksud adalah Ashley, Annika, dan aku. Tentu saja tanpa Dylan dan Tyler.
Orang tuanya tengah mengunjungi keluarga besar mereka di Jerman dan kedua adiknya ikut serta dengan mereka, yang berarti tidak ada orang di rumah yang besar ini dan Ashley tidak ingin menghabiskan malam di akhir pekannya sendirian.
Ia juga menolak ikut bersama keluarganya dengan alasan tidak enak badan. Padahal alasan yang sebenarnya adalah: "My family sucks. They're kind of a big, very big family. I hate being around people like my grandparents, aunts, uncles, cousins, nephews, kids, babies—too many people. The last time I visited them, I felt so intimidated." dan Ashley benci berada di bawah tekanan.
Who doesn't?
"I'd rather to stay in my lovely house with you two," katanya mengakhiri keluh kesahnya. Baru kali ini aku mendapatkan sahabat yang benar-benar sahabat. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan di Indonesia atau di hidupku sebelumnya.
Kesan pertamaku pada Ashley, well, buruk. Ia bertindak seolah tidak tertarik dengan kehadiranku saat aku memperkenalkan diri di kelas bahasa Spanyol. Kalau saja ia bukan teman Annika, mungkin aku akan berpikir bahwa Ashley Stevenson merupakan tipikal mean girls in high school. Pasalnya, ia memiliki ciri-ciri gadis popular itu dalam dirinya.
Dia cantik, fashionable, tahu gossip yang beredar di kalangan para murid, etc. etc.
Dugaanku salah. Ashley tidak suka menjadi bagian dari mereka—para murid popular—dan tak ayal hanya segelintir orang yang tahu bahwa Stevens Property, salah satu perusahaan properti terbesar di Eropa, adalah milik keluarga Stevenson. Mereka berproduksi di Jerman dan ayah Ashley-lah yang memimpin cabang perusahaan di Inggris dan Irlandia.
Ashley tidak pernah menunjukkan kekayaannya di sekolah dan aku tahu fakta itu dari Annika sepulang dari pesta keluarga Stevenson. Annika juga tidak akan pernah tahu apabila ia tidak mengunjungi rumah Ashley untuk mengerjakan tugas beberapa tahun yang lalu.
Ia sangat low profile.
Selain itu, Ashley tidak mau memiliki teman yang berteman dengannya hanya karena dia, well, berada serta memanfaatkannya.
Ashley juga merupakan merupakan Youtuber yang . . . lumayan berhasil mengumpulkan puluhan ribu subscriber dan terus bertambah. Ia lebih senang menunjukkan skill yang ia miliki (baca: make up tutorial dan sebangsanya) daripada menunjukkan harta yang orangtuanya miliki.
Tak dapat dipungkiri bahwa aku terperangah begitu memasuki kamarnya yang amat sangat besar—ukurannya barangkali 4x lipat dari ukuran kamarku di Indonesia. Warna ungu dan putih mendominasi kamarnya, mulai dari cat tembok, ranjang, lemari, karpet, bahkan tumblr light yang menghiasi sebagian besar dindingnya.
Aku sudah familiar dengan hiasan di dindingnya itu. Ashley sering menjadikannya sebagai latar video-video tutorialnya. Ketika aku mendekati hiasan itu, aku baru sadar bahwa foto-foto polaroid yang dijepit di kabelnya adalah foto-foto teman-teman dekatnya, termasuk aku. Ada beberapa fotoku dipajang di sana. Saat hari pertama masuk sekolah, di studio band pribadi mereka, di Winter Wonderland, di pesta ulang tahunnya, dan masih banyak lagi.
Untuk kesekian kalinya, aku merasa benar-benar memiliki sahabat.
Jangan tanya berapa banyak koleksi make up, sepatu, baju, rok, celana, tas, topi, kacamata, dan girls' things lainnya yang ia miliki. Semuanya disusun dalam lemari-lemari kaca besar yang mengelilingi kamarnya. Aku merasa ada di sebuah butik ternama, bukan kamar seorang gadis remaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...