41 | Lose

1.3K 235 41
                                    

Tak terasa pertandingan futsal kedua telah tiba. Mikayla lagi-lagi menjemputku dan kali ini ia bilang bahwa ia tidak akan membiarkanku kabur lagi. "Aku tidak kabur, Mikayla," kataku bersikeras bahwa kata kabur itu terkesan terdengar kriminal.

"Ya, kau hanya melarikan diri," balas Mikayla tak kalah bersikeras. Ia memaksaku duduk di barisan pertama—yang paling depan—plus paling dekat dengan tempat para pemain cadangan dan pelatih serta jejerannya berada.

Ini bukan pertama kalinya aku duduk di barisan yang mereka sebut dengan VIP, sebelumnya aku juga pernah. Ini semua berkat Mikayla. Terkadang aku menyesal berteman dengan Mikayla yang selalu memiliki akses mudah untuk masuk ke dalam kalangan pemain futsal. Itu semua disebabkan oleh posisinya sebagai pacar dari Ryan Kearney. Aku heran mengapa ia tidak dekat dengan pacar dari anggota futsal lainnya alih-alih denganku yang bukan siapa-siapa ini.

Kemudian aku teringat Mikayla pernah bercerita bahwa sebagian besar dari mereka—para pacar anggota futsal—adalah cewek populer yang anti berteman dengan anak-anak biasa. Mikayla memang cukup populer, tetapi ia tidak ingin masuk ke dalam lingkaran pertemanan mereka. "Mereka pernah bilang anak jurnalistik itu membosankan sebelum mengetahui bahwa aku juga masuk ke dalam tim majalah dan sejak saat itu aku tidak ingin dekat-dekat dengan mereka," jawab Mikayla ketika kutanyai mengapa ia tidak pernah terlihat bergabung dengan yang lainnya. Itu juga sebabnya ia selalu memintaku menemaninya menonton setiap pertandingan.

Aku kenal salah satu dari mereka, namanya Isabelle Cartier, pacarnya Ashton. Dari namanya ia sudah pasti memiliki keturunan Prancis. Kami satu kelas di kelas bahasa Inggris. Dan seperti Mikayla bilang, Isabelle memang tidak menyukai bidang jurnalistik. Nilai bahasa Inggrisnya selalu buruk. Bukan berarti ia tidak fasih menggunakan bahasa Inggris, melainkan seperti kebanyakan anak Indonesia yang memiliki nilai anjlok di mata pelajaran bahasa Indonesia.

Pada pertandingan leg pertama kali ini, New Gunners akan berhadapan dengan rival utama mereka yang kemarin bertemu di final Teenage School Cup, Rosebrown FC. Aku tidak menyadarinya sampai aku melihat dua orang dari tim lawan yang kebenci. Aku lupa namanya tetapi aku ingat aku menyebut mereka dengan sebutan Neymar dan Messi. Merekalah yang berhasil menyeimbangi skor dengan cara mengelabui Andrew. Semoga saja kali ini Andrew tidak memakan umpan mereka lagi.

Jersey New Gunners di home match adalah merah dan hitam. Andrew sendiri mengenakan seragam kipernya berwarna putih. Aku tidak tahu arwah apa yang merasuki tubuhku sehingga aku memberanikan diri mengenakan jersey Manchester United—pemberian Dad—atas namaku sendiri dan bernomor punggung 11 seperti milik Adnan Januzaj dulu saat ia masih membela setan merah.

Itu dia! Aku kerasukan setan merah dari Manchester sehingga aku tidak takut apabila akan diserang dengan meriam dari London.

Posisi duduk yang sama, dresscode yang sama, lawan yang sama, atmosfer yang sama. Semuanya sama persis seperti pertandingan pertama New Gunners yang kuhadiri beberapa bulan lalu. Semuanya sama kecuali absennya Dave Collins. Aku menggeleng keras dan menutupi wajahku. Kucoba untuk menenangkan diriku sendiri agar tidak menangis. 

Aku baru menyadari satu hal: aku tidak bisa menonton pertandingan New Gunners tanpa dihantui baying-bayang sosok Dave yang ikut bermain di lapangan. Aku tahu itu semua tidak nyata. Dave sudah tenang di atas sana dan ini tidak mungkin akan berujung seperti di film-film horror. Aku tidak percaya keberadaan arwah penasaran yang masih menyimpan dendam. Aku tidak takut apabila Dave memang berubah jadi hantu. Aku hanya tidak bisa menghilangkan perasaan bersalahku.

Aku tidak benar-benar fokus menyaksikan pertandingan New Gunners melawan Rosebrown hingga pluit panjang dilontarkan oleh sang wasit. Pertandingan telah usai. Tidak ada sorak-sorak bahagia yang terdengar seperti biasanya. Seolah-olah semua orang di sini mengerti perasaanku yang tidak bisa menghapus jejak Dave di dalam memoriku. Tubuhku memang di sini, tetapi pikiran dan jiwaku ikut bersama Dave di belahan dunia lain.

Journal: The SeasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang