5 | Partner

2K 321 13
                                    

Annika bilang Julian tidak bisa menjemput kami karena tugas kuliahnya yang menumpuk, jadi kami terpaksa naik bus atau jalan—kalau mau, sebenarnya tidak masalah bagiku. Opsi pertama terdengar menggiurkan. Membayangkan diriku menaiki bus merah tingkat ala-ala London lagi. Dulu hanyalah sebuah angan semu yang tidak nyata. Namun, bus ala-ala itu kini lewat di hadapanku. Aku hampir berteriak begitu melihatnya. Beruntung aku masih sadar bahwa aku berada di tempat umum.

Ashley dijemput oleh ibunya, dia sempat menawari kami tumpangan tapi Annika menolaknya. Pertama, karena arah rumah kami berbeda. Kedua, karena Annika dan aku  akan ke tempat kami bekerja. Ralat, Annika dan aku bekerja di toko yang berbeda.

Dylan dan Tyler tadinya berencana ikut menemaniku, mengingat aku bekerja di toko olahraga dan mereka menyukai sepak bola. Mereka pikir aku tidak menyukai sepak bola jadi mereka merasa kasihan padaku. Tapi mereka salah. Mereka belum mengenalku. Dan, pada akhirnya mereka membatalkan rencana menemaniku karena malas bertemu dengan Dave dkk. Mengingat hal itu membuatku malas juga. Semoga saja mereka tidak ada di sana hari ini.

Bus yang kami tunggu berhenti di halte depan sekolah. Aku, Annika, dan beberapa murid Islington High School lainnya menaiki bus itu. Aku tidak dapat menyembunyikan rasa senangku berada di dalam bus ala-ala ini. Aku meminta Annika untuk menaiki lantai atas, tapi Annika bilang jarak tempuh kami tidak jauh. Ada rasa kecewa di dalam hatiku, tetapi Annika berjanji akan mengajakku keliling London dengan bus ala-ala alias double decker.

Rasanya baru sebentar aku duduk di kursi penumpang dan menikmati jalanan kota London, tepatnya kawasan Upper Street, tak lama kemudian bus berhenti di sebuah halte. Annika mengajakku turun dan kami harus berjalan beberapa langkah untuk mencapai deretan toko tujuan kami. Bus ala-ala tidak bisa berhenti di sembarang tempat seperti angkot, harus di halte yang sudah tersedia yang terawat rapi. Selanjutnya kami harus berjalan menelusuri trotoar. Aku melirik lapangan basket yang kulewati dan mengingat kejadian kemarin. Tidak terlihat tanda-tanda keberadaan Dave dkk.

Annika mengantarkanku ke dalam toko olahraga yang sudah kulupa namanya, tapi aku ingat nama pemiliknya. Mr. Henley. Mr. Henley menyambutku dan bilang aku boleh bekerja sampai pukul 5 saja dan sekarang adalah pukul 3. Jadi aku hanya bekerja selama dua jam. Aku kebagian shift siang-sore. Shift pagi-siang diambil oleh Liz, seorang cewek yang terlihat tomboy. Dia baru saja keluar dari ruang belakang dan berkenalan denganku. Sementara itu shift sore-malam diambil oleh Andrew, entahlah siapa dia. Aku belum bertemu dengannya.

"Jadwal shift itu untuk weekday saja," ujar Mr. Henley saat aku tengah mengelap meja kasir. "Shift untuk weekend lebih panjang. Kau boleh bergantian shift dengan Liz atau Andrew, itu urusan kalian. Tapi jangan sampai tokonya kosong. Hubungi aku kalau terjadi apa-apa dan tuliskan nomor ponselmu di buku itu." Mr. Henley menunjuk sebuah buku kecil dekat komputer.

Aku mengangguk mengerti, lalu Mr. Henley melenggang pergi ke luar toko. Annika tersenyum ke arahku. "Good luck!" katanya. "Aku di The Aksov."

Kini tinggalah aku seorang. Aku melepaskan blazer dan dasi yang meliliti leherku dan menggantungkannya pada gantungan baju yang tersedia di ruang belakang. Kugulungkan lengan bajuku hingga ke sikut dan kembali mengelap meja kasir hingga bersih. Setelah bersih semua, aku duduk di kursi di balik meja kasir dan menopang daguku dengan tangan kiriku. Kuketukkan kunci toko yang diberikan Liz pada meja untuk memecahkan keheningan.

Aku bosan.

Kuraih buku kecil yang ditunjuk Mr. Henley dan membukanya. Kubaca lembar per lembar yang kebanyakan tulisan daftar pelanggan yang menghutang. 2 lembar paling belakang, tertulis 3 mana dengan nomor ponselnya. Pertama, Stuart Henley. Kedua, Liz Peyton. Ketiga, Andrew Stanley. Dan keempat, "Zevania Sylvianna," gumamku, setelah itu mencantumkan nomor ponselku.
Terdapat pula nama Emma Edwards, kutebak dia Emma yang Mr. Henley dan Emre maksud kemarin. Karena tidak ada kerjaan, aku menuliskan nomor ponsel ketiga "rekan kerja"-ku ini. Mungkin penting.
TING.

Journal: The SeasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang