15 | Brother

1.4K 268 28
                                    

Aku menutup pintu rumah keluarga Alanen yang dicat putih seperti rumah-rumah di sampingnya. Ketika berbalik badan, Annika tengah berdiri di tangga. Memandangiku penuh selidik.

Where have you been?

Jawab jujur atau tidak? Sebaiknya jujur saja. “Oxfam with Dylan.”

“Dylan?” ulangnya memastikan. “Dylan Carter?”

Yup.” Aku maju beberapa langkah ke arah tangga. “Tadi aku bertemu dengannya saat mau pulang. Ia sedang mencari buku dan mengajakku ke Oxfam.”

“Dylan dan buku? Seperti air dan minyak, tidak pernah bersatu.” Sedetik kemudian, Annika tertawa terpingkal-pingkal memegangi pegangan tangga.

Aku tidak tahu mengapa ia bisa tertawa seperti itu, jadi aku menaiki tangga menuju kamarku. Membiarkannya larut dengan tawanya.

Kucek ponselku ketika merebahkan tubuh ke kasur yang nyaman. Notifikasi LINE-ku selalu penuh dan kebanyakan dari grup kelasku saat masih di SMP. Karena aku tipikal orang yang malas meng-scroll up chat, aku hanya membukanya, lalu menutupnya. Bukannya tidak peduli, biasanya mereka hanya membicarakan hal-hal receh. Aku juga biasanya ikut bergabung dengan mereka kalau dari awal. Aku mengecek chat yang kebanyakan dari OA berita sepak bola. Ah, chat Zevo tenggelam!

Zevo : yang udah jadi bule mah lupa sama abang sendiri

Di Indonesia sudah pukul dua belas dini hari dan sekarang malam Sabtu. Mungkin Zevo belum dan menonton film di TV. Aku tahu betul kebiasaannya. Kalau tidak begadang untuk menonton bola, pasti menonton film. Sama sepertiku. Maka dari itu aku mencoba meneleponnya, melakukan video call.

Butuh tiga kali menelepon hingga Zevo mengangkat teleponku. Aku penasaran ia sedang apa. Dari layar ponsel, wajah Zevo terlihat kusut. Rambutnya terlihat sangat berantakan. Aku baru tersadar bahwa tembok biru tua di belakangnya adalah kamar Zevo. Ya ampun, pasti Zevo tertidur.

“Lo ngga liat jam? Udah tengah malem gini, Van.” Suaranya terdengar serak, kedua matanya pun terlihat sayu.

Aku tersenyum malu. “Soalnya kangen, sih.”

Zevo tidak mengatakan apa-apa. Kemudian, matanya membelalak. “LO UDAH KE STAMFORD BRIDGE?”

Ah, pasti ada maunya. Aku bilang, “Boro-boro, Bang. Ke Emirates aja belum.”

“Serius? Kata lo rumah lo deket sama Emirates.”

Aku hanya mengangkat bahu. “Sibuk, Mas. Minggu lalu gue nonton final futsal, terus wawancara pemainnya. Jadi palingan minggu ini gue ke London Eye. Doain ya gue free.”

“Kok London Eye? Stamford Bridge, Cinta.” Zevo mulai terlihat gemas.

“Kapan-kapan itu mah yak kalo sempet. London Eye itu hukumnya fardu 'ain, kalau Stamford Bridge mah sunnah.” Aku menertawai jokes garing buatanku sendiri.

Namun, Zevo tampak tidak tertarik. “Bodo amat, ih! Gimana mau ke Old Trafford kalau ke Stamford Bridge aja susah.”

Sindiran Zevo berhasil membuatku tersindir. “Gue juga usaha kali. Lagian masih ada setahun lagi gue di sini.”

“Bulan Juni lo balik dan sekarang udah September,” goda Zevo, “Ngga sampai setahun.”

Demi apapun aku kesal mendengarnya. Kesal karena apa yang dikatakannya itu benar. Secara harfiah, aku memang setahun di sini. Namun, secara teknik, aku hanya memiliki sekitar sembilan bulan.

Zevo memicingkan matanya. “Naksir cowok, ya, lo di sana?”

DEG!

Aku mencoba terlihat santai. Padahal jangtungku berdegup kencang. “Iya. Namanya Adnan Januzaj.”

Journal: The SeasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang