50 | Goodbye

1.9K 281 117
                                    

Aku terus memandangi sebuah bangunan yang berdiri kokoh di hadapanku. Dengan rangkaian besi yang melingkar di bagian atasnya, Stadion Wembley benar-benar terlihat sangat megah. Aku tidak percaya dapat memiliki kesempatan untuk menonton laga final FA Cup antara Chelsea melawan Manchester United.

Kuucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Andrew Stanley, yang telah memberiku tiketnya di prom kemarin. Aku hampir mati setelah Dylan dan Tyler belum mendapatkan tiketnya. Sebenarnya aku masih tidak percaya Andrew memberiku tiket sekaligus menonton pertandingannya. Pertama, Andrew adalah fans Arsenal, bukan Chelsea atau Manchester United. Kedua, ia bisa saja memberi tiket tersebut pada orang lain. Kafka, misalnya.

Sambil berjalan memasuki pintu masuk, aku melepaskan jaket dan menentengnya. Di balik jaket, aku mengenakan jersey Manchester United bernomor punggung 13 dengan nama Sylvianna pemberian Julian.

Andrew dan aku berjalan dalam diam memasuki stadion nasional Inggris ini. Ia menuntunku seolah-olah sudah tahu seluk beluk setiap sudut dari Wembley. Sebagai Londoner dan pencinta sepak bola, tentu saja penggemar Arsenal itu pernah mengunjungi stadion ini.

Aku tidak bisa menyembunyikan kekagumanku begitu menuruni tangga menuju tempat dudukku. Andrew bahkan dengan baik hati berkali-kali memberitahuku agar tidak menyenggol kursi atau menabrak orang yang juga berlalu melewatiku.

Dan di sinilah kami. Duduk di tribun keempat dari depan. Tepat di seberang barisan bench para pemain bola. Andrew membeli tiket di tribun khusus penggemar Manchester United dan aku dikelilingi oleh orang-orang yang mengenakan logo setan merah, klub kebanggaanku.

Aku meletakkan jaket di pangkuanku. "Terima kasih, Andrew."

Cowok itu mengalihkan matanya dari lapangan ke arahku. "Kau sudah mengucapkan terima kasih sebanyak dua puluh kali."

"Tepatnya sebanyak trofi Premier League Manchester United," balasku sedikit diberi bumbu candaan yang sebenarnya menyindir Arsenal.

Andrew menanggapinya dengan memutar bola matanya. Hatiku turut senang sebab pada akhirnya aku dapat merasa santai bersama pemilik mata biru laut ini. "Kau mengenakan jersey Arsenal?" tanyaku setelah menyadari ada kaus berwarna merah dari balik jaket hijau lumut milik Andrew.

Cowok itu menganggukkan kepala sambil menyipitkan matanya. Terkekeh pelan. "Tidak terlalu kelihatan jersey Arsenal, kan?"

"Kupikir itu jersey United," jawabku. "Kenapa?"

"Kenapa?" Andrew balik bertanya.

"Kenapa kau membeli tiketnya dan memberikan padaku?" aku memperjelas pertanyaanku.

Andrew mengalihkan matanya lagi ke lapangan. Sayang sekali aku tidak bisa menatap mata biru lautnya. "Kupikir Arsenal yang lolos ke final, ternyata tidak sedangkan aku sudah memesan tiketnya."

"Begitu," gumamku. Antara percaya dan tidak percaya. Benarkah itu alasan Andrew? Atau ada alasan yang lain? "Kenapa kau tidak memberikannya pada Kafka? Dia kan penggemar Chelsea."

"Jadi maksudmu tiketnya untukmu dan Kafka?"

"Eh." Aku bungkam mendengarnya. Apa maksud Andrew? "Bukan begitu aku—"

"Bukannya kakakmu menyukai Chelsea?" sela Andrew. Kali ini membawa-bawa Zevo, yang membuat lubang pertanyaan di benakku. Dari mana ia tahu?

Dan aku baru ingat sesuatu. "Astaga. Aku lupa memberitahu Zevo!" Kurasakan Andrew memperhatikanku yang sibuk mencari ponsel untuk menghubungi saudara kembarku itu.

Kemarin malam sepulang dari prom-sekitar pukul sebelas malam-aku menghubungi Zevo. Saat itu di Bogor sekitar pukul enam pagi. Aku memberitahunya bahwa aku dapat tiket laga Chelsea melawan Manchester United. Setelah memberitahunya, aku menyesal karena ia langsung menuntutku untuk meminta tanda tangan Thibaut Courtois dan Eden Hazard. Plus, Alvaro Morata.

Journal: The SeasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang