21 | London

1.4K 259 38
                                    

Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba!

Aku akan menaiki London Eye untuk pertama kalinya dalam hidupku! YA, AMPUN MASIH NGGA NYANGKA ASDFGJKL

London Eye berdiri dengan megahnya di depanku. Persis di depanku. I'm totally speechless. Rasanya ingin menangis. Aku ngga pernah menyangka ini nyata. London Eye, yang biasanya hanya bisa dilihat di foto atau film atau tv, sekarang ada di depanku.

Kalau boleh mem

"Baru kau yang datang?"

Aku menghentikan aktivitas menulis jurnalku begitu mendengar suara yang terasa cukup familiar. Ketika mendongakkan wajah, napasku tercekat melihat siapa yang berdiri di hadapanku. Dia ... bukan Adnan Januzaj. Tapi tetap saja!

"Seperti yang kaulihat," jawabku sambil merapatkan mantel dan mencoba terlihat biasa saja. Padahal jantungku berdegup kencang, lebih cepat dari laju motor balap di MotoGP. Pasalnya yang berdiri di hadapanku adalah Andrew Damn Stanley!

"Boleh aku duduk di sampingmu?" Telunjuk kanannya menunjuk sisi kananku. Aku duduk di salah satu kursi taman Jubilee Garden yang tak jauh dari London Eye.

"Tentu," kataku mempersilakannya.

Andrew kemudian duduk. Ada jarak sekitar satu jengkal di antara kami, namun aku masih dapat merasakan kehangatan yang terpancar dari tubuh Andrew di tengah suhu yang agak dingin. Sudah memasuki musim gugur pertengahan.

Dan musim gugur adalah musim favorit Andrew.

Dengan pemandangan Sungai Thames di hadapan kami, aku merasa momen ini sedikit ... romantis? Ya, ampun, Zeva. Ada apa dengan pikiranmu? Buru-buru aku melenyapkan pikiran ala-ala film romance-drama dalam benakku.

"Kau sedang menulis apa?"

Tak kusangka Andrew akan bertanya seperti itu. Aku kontan menutup buku jurnalku secara refleks-seolah itu adalah gerakan dari bawah alam sadarku kala ada yang menanyakan perihal jurnalku. Padahal aku menulisnya dengan bahasa Indonesia yang tidak Andrew mengerti. Namun, tetap saja aku harus menjaga isinya dari setiap makhluk yang bernapas.

Andrew termasuk makhluk apa, ya? Dia terlalu sempurna untuk disebut manusia.

Mungkin dia adalah manusia setengah dewa.

"Zevania?"

"Y-ya?" Aku mengerjapkan mata ketika ia menyebut namaku. Lagi-lagi Zevania, bukan Zeva (tapi aku menyukainya).

"Ini adalah jurnal." Kuusap sampul jurnalku. "Semacam diary, tetapi tidak terlalu pribadi. Semacam itulah."

Aku memberanikan diri menatap mata biru-laut Andrew yang menjadi titik kelemahanku. Rupanya ia tengah memandangi jurnalku. Kemudian bertanya, "Kau sangat menyukai London, ya?"

"Oh, uhm." Aku bergumam. Menatapi sampul jurnalku yang penuh dengan stiker berbau London. "Sangat menyukai London," ulangku sambil mengangguk.

Andrew tampak tertarik, terlihat dari alisnya yang mengerut. "Kalau kau tidak keberatan, boleh aku bertanya mengapa? Maksudku, kebanyakan para gadis lebih menyukai Paris."

Aku menelan ludah, terkejut Andrew akan bertanya begitu jauh. Tidak perlu berpikir lama untuk menjawabnya, aku langsung bilang, "Awalnya aku juga menyukai Paris," aku mengakui.

"Oh, ya?"

Aku mengangguk, kemudian melanjutkan, "Tetapi karena teman-temanku juga menyukai Paris, aku langsung bilang bahwa aku lebih suka London karena aku tidak menyukai hal yang mainstream dan ternyata itu benar-benar terjadi padaku. Aku terbius dengan Union Jack, yang pada awalnya kukira adalah bendera Inggris."

Journal: The SeasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang