Aku berjalan menyusuri koridor sekolah yang sudah lumayan sepi. Annika berlatih piano untuk lombanya di ruang musik dengan Ms. Anne, jadi aku pulang sendiri. Lagipula meski Annika tidak latihan, aku tetap akan pulang sendiri karena kini kami berbeda arah. Aku ke utara, sedangkan Annika ke barat. Ke cafe milik Mrs. Aksov.
Gerimis menyambutku begitu sampai di pintu depan sekolah dan aku tidak membawa payung (biasanya Annika selalu membawa payung). Terpaksa harus hujan-hujanan untuk sampai ke halte.
Saat aku bersiap untuk basah karena hujan, seseorang memayungiku dari samping. Aku menoleh ke kanan, ternyata Dylan yang memayungiku. "Dylan?"
"Kau tidak bekerja di toko itu lagi, 'kan?" tanyanya, aku hanya mengangguk. "Mau menemaniku ke toko buku di Upper Street?"
Eh, ke toko buku? Sudah lama aku tidak ke toko buku. Aku mengangguk menerima ajakan Dylan. Toh, di rumah pun akan membosankan tanpa Annika. Aku hanya berdua dengan Mum—bertiga kalau Julian sudah pulang dari kampusnya.
Dylan dan aku berjalan menembus hujan di bawah payung yang sama. Kalau boleh baper ... Dylan berhasil membuatku baper. Tapi, tidak sebaper saat Andrew menatapku dengan mata biru lautnya yang meneduhkan.
Dylan menuntunku ke halte dan jantungku berdebar ketika melihat Andrew berada di halte seorang diri menunggu hujan.
"Hei, Andrew," sapa Dylan setelah ia menutup payungnya. Andrew menoleh, matanya langsung tertuju padaku. Namun, ia langsung mengalihkan pandangannya pada Dylan.
Andrew mengangkat kedua alisnya. "Where are you going?"
"Oxfam Books," jawab Dylan. Andrew hanya membalasnya dengan sebuah "oh". Kemudian, ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Menunggu bus datang.
Oke, ini adalah suasana tercanggung sepanjang hidup seorang Zevania Sylvianna. Pasalnya, hanya kami bertiga di halte ini ditambah aku berdiri di antara Dylan dan Andrew.
Sebuah bus double decker berwarna merah ala London (atau yang biasa kusebut bus ala-ala) dengan tulisan Angel Road nomor 341 berhenti di halte. Aku belum menghapal nomor-nomor bus. Mungkin nanti.
"Kau tidak ikut?" tanya Dylan pada Andrew, aku memberanikan diri menatapnya untuk melihat responnya. Tanpa melirikku, ia menggeleng. "Ayo, Zev," ajak Dylan, ia memayungiku lagi seperti seorang umbrella girl--ralat: boy. Umbrella boy.
Aku mengikuti Dylan, meninggalkan Andrew tanpa menoleh ke belakang. Ia sendiri juga tidak menganggapku ada. Mengapa aku harus menganggapnya ada?
Sepertinya ada yang salah dalam diriku. Aku tidak bisa menganggap Andrew tidak ada, karena sekarang aku malah terus memikirkannya. Dylan duduk di sampingku, mengingatkanku saat Andrew dan aku pulang bersama setelah terjadi perampokan di toko Mr. Hansel.
Pada hari itu ... hari terakhir kami bekerja di tokonya.
Dan yang paling menyesakkan adalah saat Andrew dan aku berjalan bersama dari Highbury Fields. Andrew bahkan tersenyum dan berkata, "Hati-hati, Zevania." Begitu aku belok ke Melgund Road.
Dylan mengajakku turun begitu bus berhenti tepat di depan sebuah halte dekat telephone box berwarna merah ala-ala London yang tidak pernah kukunjungi.
Oh, Zeva, berapa banyak tempat yang pernah kau kunjungi selama di London?
Dylan dan aku berjalan menyusuri trotoar dan berhenti di sebuah toko yang bercat putih yang diapit sebuah toko obat dan minimarket. Tertulis "Oxfam Books" di papannya.
Dylan yang masuk ke dalam toko bukunya duluan, disusul aku. Toko bukunya tidak terlalu besar, tetapi koleksi bukunya terlihat lumayan komplit.
"Menurutmu Annika menyukai apa?" tanyanya tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...