"One…"
"Two…"
"Three!"
Aku berlari mengelilingi lapangan futsal sebanyak tiga kali sesuai perintah Mr. Mason. Putaran pertama, aku masih semangat. Putaran kedua, aku berharap cepat selesai. Putaran ketiga, rasanya ingin mati. Mengapa setiap guru olahraga hobi sekali lari-larian? Setelah menyelesaikan putaran terakhir, aku duduk di pinggir lapangan dan menyelonjorkan kakiku.
Mr. Mason memanggil sepuluh siswi untuk praktik bermain futsal. Langsung praktik futsal? Oh, aku lupa. Ini adalah Inggris dan sepak bola adalah jiwa warga Inggris. Mereka sudah menyertai dengan baik teknik-tekniknya.
Well, tidak ada namaku di sana. Bagus karena aku capek dan tidak bisa bermain bola. Aku bangkit dan duduk di bangku penonton bersama seorang siswi bernama Keira, aku sempat berkenalan dengannya.
"Kau terlihat ... kecewa?" Keira menyodorkan sebotol minuman padaku.
"Thanks." Aku menerimanya. "Tidak juga. Kau tahu, aku sangat buruk bermain futsal atau sepak bola." Dan itu memang benar.
Keira tertawa dan tawanya terdengar renyah di telingaku. "Aku sangat buruk di semua bidang olahraga." Dia menutup botol minumnya. "Lagipula aku bersyukur Mr. Mason tidak mengenalku."
Alisku bertaut. "Tidak mengenalmu?"
"Aku murid baru."
"Aku juga," sahutku. "Mr. Mason juga tidak mengenalku."
Keira Hall, dia murid baru sepertiku dan berasal dari Irlandia.
Keira dan aku memperhatikan permainan futsal putri yang baru saja dimulai. Kulihat Mr. Mason menggelengkan kepalanya beberapa kali melihat tendangan asal dari para siswinya itu. Sementara cowok-cowok menertawakan mereka. Aku sekelas dengan Dylan dan Andrew, mereka juga ikut tertawa. Aku bersyukur tidak dipanggil Mr. Mason karena aku juga tidak bisa bermain bola. Aku hanya suka menonton pertandingannya.
Terdengar suara jeritan. Semuanya melihat ke arah lapangan. Seorang gadis berambut coklat muda menarik rambut gadis berambut pirang yang dikepang satu. Kemudian sang gadis berkepang tidak terima dan balik menarik rambut gadis berambut cokelat. Terjadilah aksi saling menarik rambut di tengah lapangan.
Siswi-siswi lainnya hanya memperhatikan mereka dari sisi lapangan tanpa ada yang berani melerai.Suara peluit yang melengking menghentikan aksi itu. Mr. Mason memisahkan mereka berdua dan menyuruh mereka berdua ke pinggir lapangan. Disusul oleh para siswi lainnya, satu per satu dari mereka duduk di bangku penonton sepertiku. Sementara itu, dua gadis yang bertengkar tadi tidak terlihat lagi. Seperti hilang ditelan bumi.
Mr. Mason meniupkan peluitnya lagi dan menggerakkan tangannya ke arah para cowok, memanggil mereka untuk segera ke tengah lapangan. Dalam hitungan detik kedelapan cowok itu membuat 2 tim yang masing-masing terdiri dari 4 pemain.
Peluit dibunyikan lagi dan permainan pun dimulai. Andrew dan Dylan berada di tim yang sama dan mereka menjadi striker, kurasa. Tim Dylan menyerang duluan. Dylan mengoper pada temannya, temannya mengoper ke Dylan lagi, dan Dylan menembakan bolanya ke arah Andrew dan gol!
Ya, ampun. Semudah itu kah?
Andrew berpelukan dengan Dylan dan ini merupakan fenomena yang langka! Setahuku Dylan tidak menyukai Dave dkk dan Andrew termasuk di dalamnya. Oh, atau mungkin yang tidak disukainya hanya Dave?Tim lawan—secara teknis, mereka bukan lawan. Tetapi aku mendukung tim Dylan jadi kusebut mereka tim lawan—menyerang balik pertahanan tim Dylan. Andrew terlihat panik dan dia berlari cepat ke dekat gawang. Salah satu anggota tim lawan menarik kakinya ke belakang lalu mengayunkannya dengan keras.
AH. GOL!
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Seasons
Teen Fiction[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta klub bola Manchester United. Berangkat seorang diri ke negeri asing tak membuatnya mundur dari proses...