Chapter 57 - The Hidden Soul Of The Public Figure - Finish!

147 17 0
                                    

I'm back!

Karena kuliah sebentar lagi akan datang, maka berencana untuk satu kasus ini selesai. Oke dah langsung aja cuz untuk baca.

Check!

-*-

Didepan panggung membuat beberapa pemain akting yang disesuaikan dalam naskah yang sudah dibuat oleh sutradara distudio tersebut, tampak ke enam detektif tampak melihat latihan para pemain.

Dipanggung datang satu pemain memakai pakaian gaun, duduk disofa panjang dengan kedua tangan memegang novel. Lalu datang seorang memakai pakaian pelayan yang membawa nampan berisi poci dan cangkir berjalan ke arah pemain yang masih duduk disofa.

'Kenapa dia berjalan seperti itu?' batin Jupiter bingung melihat cara berjalannya. Lalu dia menatap temannya serta orang yang berada distudio tersebut.

"Ini teh untuk nona." Kata pelayan sambil meletakkan poci dan cangkir diatas meja.

"Tuangkan tehnya!" Balasnya memerintah.

'Jika ada wanita seperti itu rasanya hendak aku marahi rasanya.' Batin Dick menyipitkan mata melihat wanita yang sedang duduk disofa yang ditempatkan dipanggung.

"Baik, nona."

Setelah menuangkan teh untuk nonanya, pelayan itu pergi dari nonanya.

"Cut!" seru sang sutradara pada mereka berdua. Lalu dia tersenyum puas dengan latihan dibawah panggung, "Inilah yang aku inginkan, dan kamu memerankan seperti apa yang saya inginkan, Rilley." Ujarnya puas pada wanita yang sudah berdiri dari sofa.

Rilley hanya tersenyum tipis dan membungkuk pada sutradaranya.

"Tetapi, ada apa dengan langkah kakimu saat kamu berjalan ke sofa?" Tanya sang sutradara dengan melipat kedua tangannya.

"Ah, itu...karena kaki kiri saya tadi tiba-tiba keram saat berjalan tadi, sir."

Sutradara itu mengangguk, "Baiklah, kamu tinggal bersiap saja untuk besok. Jaga kesehatan dan ingat! Jangan sampai beratmu menjadi 50 kg."

Rilley mengangguk, "Saya mengingatnya, sir. Terima kasih atas saran anda." Kata dia membungkukkan badan sedikit pada Weshille.

>>

Ketika dia hendak melangkah menuju panggung, seseorang mencekal tangannya. "Apa?" Tanya dia jengah pada laki-laki dihadapannya.

"Tidak bisakah kamu menatapku yang berbicara?" Tanya laki-laki itu dengan dingin.

Perempuan itu segera menarik tangannya dan membelakangi, "Tidak. Aku tidak ingin menatapmu." Jawabnya menutup mata.

Saat George keluar dari lift, dia langsung bersembunyi dibalik dinding ketika melihat dua orang jauh didepannya.

Ketika dia hendak melangkah, dia dicekal lagi, "Dengarlah penjelasanku, Rilley. Untuk yang kamu lihat di café tidak seperti yang kamu pikirkan, aku hanya-"

"Apa? Hanya ingin putus dariku, begitu! Jika itu maumu, akan aku lakukan!" seru Rilley pada dia, "Permisi." Lanjutnya menarik tangannya dan menjauhi laki-laki itu.

Disaat sudah dimulai acara pentas mereka dihadapan siswa-siswi lulusan SMU Jersey, para pemain sudah memulai adegan mereka.

Dipanggung datang satu pemain memakai pakaian gaun, duduk disofa panjang dengan kedua tangan memegang novel. Lalu datang seorang memakai pakaian pelayan yang membawa nampan berisi poci dan cangkir berjalan ke arah pemain yang masih duduk disofa.

'Kenapa dia tetap berjalan seperti itu?' batin Dick bingung melihat cara berjalannya, dia lalu menatap George, sahabatnya, dan semua yang hadir.

George yang disampingnya hanya mengangkat alis menatapnya, lalu beralih ke panggung. "Aku juga menyadari langkahnya, Dick." Kata dia tanpa menatapnya.

"Ini teh untuk nona." Kata pelayan sambil meletakkan poci dan cangkir diatas meja.

"Tuangkan tehnya!" Balasnya memerintah.

"Baik, nona."

Setelah menuangkan teh untuk nonanya, pelayan itu pergi dari nonanya. Lalu tampak seorang wanita paruh baya mendatanginya, "Nak, kamu tidak keluar dipagi ini? Biasanya kamu selalu keluar dengan Hirren."

Relita tetap menatap novelnya, "Aku ingin membaca novel saja untuk minggu ini. Tidak ingin kemana-mana, ibu." Jawabnya pada sang bundanya.

Ibunya menatap dia benar-benar, "Kamu bermasalah dengan Hirren, nak?" Tanya bundanya pada putri semata wayangnya.

Relita hanya menggeleng tanpa menatap ibunya, matanya tidak menatap lain.

Wanita yang berdiri disampingnya pun memegang salah satu bahu putrinya, "Kamu tidak bisa berbohong padaku, nak. Dari kedua matamu melihat, Ibu tahu pasti kamu ada masalah dengannya."

Gadis yang duduk itu menurunkan novel kebawah dan menunduk, "Benar, jika aku ada masalah dengan Hirren, bu. Itu membuatku tidak ingin bertemu dengannya. Ketika aku di café bersama temanku, aku melihat dia dengan perempuan lain."

George yang mendengar penjelasan dari gadis tersebut membuat satu kakinya yang mengetuk lantai pelan terdiam. Dia kembali mengingat apa yang dia lihat sebelumnya setelah keluar dari lift.

'Apa yang kamu lihat? Aku melihat?' batin George melipat kedua tangannya dikursi penonton. Suara murid-murid dibelakangnya tidak dia hiraukan.

Menatap putrinya yang berkaca-kaca membuat Ibunya memeluk putrinya dari samping, ketika ibunya ingin berkata datang seorang laki-laki muda pada mereka.

"Kak, ada yang ingin bertemu dengan kakak." Kata laki-laki kepada kakaknya yang menatapnya.

"Siapa?" Tanya bundanya.

"Kak Hirren." Jawab putranya.

Relita menundukkan kepala, "Bilang saja 'kakak tidak ada', dek." Balas dia tanpa menatap adiknya.

"Kenapa kamu menjawab pertanyaan adikmu seperti itu?" Tanya sang bundanya pada putrinya. Lalu menatap putranya, "Katakan saja 'Kak Relita ada' pada Kak Hirren." Lanjutnya dengan tersenyum tipis.

"Ibu!" seru Relita pada bundanya, namun tampaknya dia tidak mendengar seruan putrinya.

Putranya mengangguk dan berjalan menuju pintu depan rumah lagi. Setelah itu masuklah Hirren dan melangkah ke hadapan Relita. Ibu dari Relita pun yang tahu laki-laki itu ingin menyelesaikan masalah dengan putrinya akan melangkah keluar dari ruang keluarga.

"Tapi, bu-"

"Jika kamu memiliki masalah dengan Hirren, selesaikan baik-baik dengannya."

**

Untuk bagian tulisan miring itu adegan film pendek mereka ya, untuk selebihnya tidak.

Oke, voments?
Sampai jumpa

Kamis,10 Agustus 2017
At 19.44 PM

The Eight Detectives | Revisi ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang