Empatpuluhlima

13K 1.5K 67
                                    

Megan mencium jenazah putranya yang berada dalam gendongannya. Begitu kecil, putih dan rapuh. Andai saja Megan bisa memeluknya lebih lama. Mendengarnya menangis. Melihatnya tertawa. Megan akan lakukan apapun untuk mendapatkannya.

"Gan..." Papa menepuk bahu Megan lalu menganggukkan kepalanya setelah putranya menoleh

"Sebentar lagi, Pa..." kata putranya. Lalu dia kembali memandangi lekuk wajah Mikail yang memutih "Sebentar lagi, boleh kan? Megan masih..."

"Megan... Sebentar lagi hujan. Kael harus segera dimakamkan..." Papa menoleh kepada beberapa orang yang berdiri di dekat liang kubur cucunya, "Sebentar lagi, bapak-bapak..."

"Mas Megan... Diikhlaskan, kita doakan..."

Megan menganggukkan kepalanya kemudian memberikan kecupan terakhirnya kepada sang buah hati di kening kecilnya. "Anak Ayah..." air matanya menetes kembali, "Kael, maafin Ayah..."

Megan kemudian menyerah dan meletakkan jenazah kecil putranya berbaring di makamnya. Ketika tubuh putranya mulai ditimbun oleh tanah, Megan sudah tidak kuasa menahan air matanya dan kembali menangis. Putra kecilnya baru berumur beberapa hari dan sekarang dia sudah pergi. Bahkan terakhir kali Megan ingat, putranya itu belum akur dengan dirinya.

Papa memeluknya. Dengan erat dan hangat. Sarat dengan pelukkan khas laki-laki yang biasanya Papa berikan untuk memberikan kekuatan kepada Megan.

"Megan harus gimana, Pa?" Megan menangis, dia merasa begitu kecil sekarang. Begitu lemah dan tidak berdaya, "Megan harus gimana sekarang, Pa?"

Pria paruh baya itu menepuk pelan putranya, "Megan pasti bisa. Megan sudah jadi ayah sekarang..."

Harus gimana Megan ngadepin Clara?

...

Perempuan itu masih menangis sambil memeluk baju bayinya yang berwarna biru muda. Clara masih tidak ingin melihat siapapun sekarang. Tangannya gemetar ketika melipat satu lagi baju Mikail yang tadi dia ambil dari atas nakas.

Hujan sudah turun di luar dan Clara mendengar ada seseorang yang masuk ke ruangannya. Dia sudah menduga siapa yang akan datang menghampirinya.

Megan berjalan mendekatinya dan Clara sudah menangis kembali ketika Megan berada di sampingnya. "Kaelnya belum minum susu..."

"Ra..." kata Megan dengan pelan lalu meraih lengan Clara, "Kaelnya udah..."

"Apa?!" Perempuan itu membentak dengan mata yang berair dan kemudian melepaskan tangan Megan pada lengannya. "Kenapa lo bawa Kael keluar?"

Megan menggelengkan kepalanya dengan susah payah. Menelan ludah kemudian kembali menarik perempuan itu untuk menatapnya, "Kael udah di makam, Ra. Jangan kayak gini..."

Clara mengalihkan pandangannya dari tatapan Megan. Dia memandang keluar jendela lalu terdiam sebentar. Perempuan itu nenghapus air matanya kemudian menatap Megan kembali, "Hujan, Gan. Kok dibiarin anaknya keujanan?"

"Ra..." Megan memanggil dengan lemah lalu kembali menggelengkan kepala, "Kael..."

"Kael kedinginan. Kok dibiarin Kael sendirian? Sakit nanti..."

Megan menahan lengan Clara dengan cukup kuat ketika perempuan itu berusaha berjalan meninggalkannya. Harus bagaimana Megan mengatakannya sekarang?

"Lepasin!" Clara menarik lengannya dengan susah payah tapi Megan tak juga melepaskannya. Perempuan itu meneteskan air matanya dan terisak, "Gan, Kael ditinggal dimana? Kok belom dibawa kesini? Ini waktunya minum susu"

"Ra, jangan kayak gini. Please, Ra. Gue mohon sama lo. Masih ada Mikaila yang butuh lo. Jangan begini, Ra..."

Clara menggelengkan kepalanya, "Lo kenapa sih? Anaknya belum dibawa kesini bukannya khawatir malah nahan-nahan gue!"

"Ra, Kael udah gak ada..." Megan terdengar frustasi sekarang. Dia juga sama sakitnya dengan Clara tapi perempuan itu bahkan lebih parah darinya

Perempuan itu berhenti bernafas. Dia menatap nyalang kepada Megan dan kemudian berusaha melepaskan kembali lengannya dengan cukup kuat. "Enggak... Enggak! Lepasin!"

"Ra..."

"Lepasin! Megan! Gue mau cari Kael!"

"Ra, inget kondisi lo!"

"Lepasin gue lepasin!" Clara meluruh ke lantai kemudian. Diikuti Megan yang juga menahannya. Perempuan itu menangis. Memukuli lengan Megan dengan lemah, "Mana Kael...?"

Megan menggelengkan kepalanya. "Gue minta maaf, Ra. Kael udah gak bisa sama-sama kita lagi..."

"Kael..." Clara meraung kemudian kembali memukuli Megan dengan tangan kecilnya yang sudah dibebaskan cowok itu. Dadanya sesak dan segelintir ingatan mengenai putranya kembali kepadanya, "Gue bunuh anak gue sendiri"

"Enggak, Ra..." Megan meyakinkannya sekali lagi, "Lo gak salah..."

Clara menggelengkan kepalanya dan kembali memukul Megan sambil meraung-raung. "Lo brengsek. Gue benci sama lo..."

Megan menahan nafasnya. Dia tidak bisa melihat Clara yang tiba-tiba menjadi seperti ini.

"Gue benci sama, lo. Gue benci..." Clara menunduk kemudian memukuli Megan yang sudah berusaha memeluknya. Perempuan itu mendorongnya dengan sekuat tenaga. "Gue benci sama lo. Gara-gara lo gue begini. Gara-gara lo gue kehilangan Kael. Lo brengsek bikin gue hamil dan kehilangan anak gue, Gan. Lo yang bikin gue harus kehilangan kayak gini..."

Megan menarik Clara. Hatinya juga sakit mendengar ucapan Clara yang menyalahkannya. Benar kan? Megan yang salah dari awal. Kalau saja Megan tidak menyerahkan minuman itu kepada Clara. Mereka tidak akan ada di titik ini. Titik dimana mereka harus kehilangan salah satu dari kembar mereka.

Cowok itu menganggukkan kepalanya dengan lemah. "Salah gue, Ra. Maafin gue..."

"Gue benci sama lo. Lepasin gue..."

Megan menggelengkan kepalanya. Semakin mengeratkan pelukkannya tanpa peduli pukulan lemah Clara pada punggungnya.

Suara perempuan itu mengecil. Semakin lama semakin menghilang ketika Megan ikut menangis memeluk Clara. Megan akhirnya melepaskan pelukan itu karena Clara yang tidak ada perlawanan sama sekali membuatnya curiga.

"Clara..." katanya dengan lemah ketika menyadari wajah perempuan itu sudah pucat dan pingsan dalam pelukkannya. Megan membopongnya menidurkan Clara di ranjang dan kemudian menekan tombol darurat. Dia menggenggam tangan Clara dengan kedua tangannya, "Gue yang brengsek, Ra. Jangan benci gue..."

RHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang