Duapuluhtujuh

13.6K 1.7K 79
                                    

"Ren, gue butuh pertolongan elo. Buat hal ini kita harus serius dan pinter nyari alasan"

Moreno menatap sahabatnya dengan bingung dari balik biliknya. Mereka sedang di perpustakaan pusat kampus mereka untuk menyelesaikan beberapa lembar revisi dan tentu saja perihal skripsi mereka.

Carlos kemudian mendekatkan kursinya dan berkata kepada sahabatnya, "Hari ini kan kita ada follow up ke bekasi. Nah..."

"Apaan?" Tanya Moreno kemudian melirik Carlos yang sudah mengeluarkan hpnya

"Lo bilang sama adik ipar gue tolong ambilin paper a0 kita di rumah gue dan kirimin ke sini"

Moreno mendengus dengan kasar, "Bisa aja dia alasan, ada gojek bang. Lo suruh adek lo gojekin" kemudian membuka hpnya, "Elu gak pinter amat"

"Terus gue harus bilang apa? Masa nyuruh ngecekin Clara?" Carlos bingung pada akhirnya. Apapun usaha yang akan dia tempuh pasti akan ada jawaban lain yang akan diberikan

"Justru disaat kayak gini, gunanya pake jurus sakti Mama..." kemudian dia sibuk memainkan jemarinya di atas layar hp. "Lo bilang kita jangan ikut campur. Tapi lo sendiri punya ide murahan begini"

Carlos menggelengkan kepalanya, "Kita ini katarsisnya. Ikut campurnya gak keliatan. Lo bilang apa sama Mama lo?"

Mau tidak mau akhirnya Moreno menjelaskan juga, "Bilang apa enaknya? Bilang lo gak pulang?"

"Boleh" kata Carlos menanggapi kemudian berkata kembali, "Bilang sekalian, kalo misalnya belom cek ke dokter. Udah berapa bulan ya bubbles sekarang? Lupa gue"

"Bisa-bisa. Emak gue pasti suka alasan ini. Biar cepet baikkannya..." Moreno menggaruk tengkuknya, "Apa gak sebaiknya mereka serumah aja, ya?"

"Eh? Jangan. Kasian adek gue yang ada..."

"Maksud lo, adek gue bakalan nyiksa adek lo gitu?" Begini-begini, Moreno masih menganggap Megan sebagai adiknya. Tidak terima juga Megan dikatakan penjahat disituasi ini. "Bukannya bagus kalo serumah?"

"Enggak. Kurang greget aja. Kalo gak serumah, mereka masih ada waktu buat mikir jernih. Ada waktu buat ngerasa kangen. Ada waktu buat nyadar perasaan masing-masing. Kalo serumah, yang ada perang badar mulu"

"Bener juga kata, lo. Biar ada keliatan effortnya si bedebah Megantara". Moreno menganggukkan kepalanya. "Oke, Mama mau beraksi"

"Kok cepet?"

"Biasa..." Moreno melambaikan tangannya, "Mama itu kayaknya suka banget sama Clara makanya mau aja lakuin apapun. Tenang aja, adek lo berada di keluarga yang tepat"

Semoga

...

Cowok itu baru saja pulang dari rumah Ariesta mengingat besok adalah hari ujian praktik kimianya. Kesal karena sang Mama dengan titah saktinya menyuruh Megan untuk ke rumah Clara karena perempuan itu sendirian di rumah. Dan ini sudah malam.

Megan tidak habis pikir dengan kelakuan Carlos dan kakaknya juga sang Mama. Jelas ini adalah salah satu cara komplotan mereka agar Megan bertemu dengan Clara.

Dia membuka hoodienya ketika masuk ke dalam ruang tamu lalu menyalakan beberapa lampu yang ketika dia sampai tadi sama sekali tidak menyala dan berjalan lurus sampai kemudian di depan ruang tv dan melihat kalau ruangan itu nyaris gelap.

Megan menggerutu. Jangan-jangan tidak ada orang di dalam rumah ini. Dia mendengus dengan kasar kemudian mengelilingi rumah dan menyalakan lampu-lampu. Ketika selesai, Megan melihat kalau sampah belum dibuang dan tumpukan piring kotor masih di atas meja makan.

"Ck. Rumah apa TPS. Jorok amat" katanya kemudian mendengus kesekian kalinya dan mulai membereskan rumah. Untung saja dia sudah mengingat bahan ujian besok. Kalau tidak, Megan pasti sudah memilih untuk tidur dan belajar di rumah dibanding melakukan pekerjaan ini.

Setelah selesai, Megan melipir menuju ruang tengah dan melirik pintu kamar Clara. Ketika akhirnya dia menyadari ada yang tidak beres karena kamar perempuan itu masih saja tidak memiliki penerangan, dan Mamanya mengatakan Clara seorang diri di rumah. Megan memutuskan untuk meraih gagang pintu dan membukanya.

Megan menelan ludah. Dia segera berlari menuju raanjang Clara dan memeriksa suhu badan perempuan yang sudah terbaring lemah sambil memegangi perutnya.

"Ra! Lo denger gue, kan?!" Megan mengambil salah satu lengan Clara dan menyeka keringat perempuan  itu yang menetes. Demam. "Ra! Ra! Gue ambilin air putih lo, lo sandaran dulu, ayo..."

Clara tidak banyak bergerak, dia sudah terlalu tidak punya tenaga untuk menebak siapa yang datang malam ini ke rumahnya.

Megan menyalakan lampu dengan cepat lalu berlari menuju dapur. Sialan Carlos. Apa dia berniat membunuh adiknya sendiri? Megan tidak bisa berpikir banyak. Dia hanya mengambil satu gelas air hangat dan menopang kepala Clara kemudian memaksa Clara untuk minum.

Clara melenguh dengan lemah. Pertanda bahwa dia sudah tidak punya tenaga lagi. Membuat Megan semakin panik dan kemudian mengumpat dengan pelan.

"Ra! Ra ini Megan. Kita ke rumah sakit sekarang. Lo denger gue? Ngangguk kalo denger" perintahnya

Perempuan itu mengangguk dengan lemah.

Tanpa pikir panjang lagi, Megan mengambil hpnya dan menelpon taksi. Tidak ada jawaban. Mungkin alternatif lain bisa. Tapi sama saja. Dia panik sekarang.

"Ra. Gue bawa pake motor, lo bisa kan?"

"Enggak..." jawab perempuan itu dengan lirih

Megan berdecak lagi, "Shit. Mobil gak ada di garasi! Taksi gak ada!"

Perempuan itu menggelengkan kepalanya, "Enggak. Tolong..." dia menghela nafas kemudian melanjutkan kembali ucapannya, "Tolong anak kosan... Ada yang bawa mobil"

Megan kembali meletakkan kepala Clara di headboard ranjang dan kemudian berlari menuju salah satu rumah yang Megan yakini masih memiliki penghuni yang tersadar.

...

"Gimana, dok?" Megan menelan ludah. Tiga jam yang lalu, Megan sudah mendapatkan pinjaman mobil dari salah satu anak kos Clara dan kemudian menuju rumah sakit terdekat. Sayangnya penanganannya tidak secepat dugaan Megan. Para dokter sedang sibuk dengan pasien lain yang kecelakaan dan juga ruang gawat darurat sudah penuh.

Dia sampai harus menggendong Clara untuk memindahkan perempuan itu menuju ruangan lain. Dan disepanjang ruang tunggu, Megan disana, memeluk Clara dan menyandarkan kepala Clara pada cerukkan lehernya agar perempuan itu bisa tidur tanpa kebisingan.

Setelah satu setengah jam akhirnya salah satu tempat tidur di ruang gawat darurat akhirnya bisa ditempati dan Clara menjalani pemeriksaan.

Dokter muda di depannya menghela nafas, "Ibu kecapaian. Perutnya kram dan ada sedikit pendarahan. Untung cepat dibawa ke sini"

Megan masih belum bisa bernafas dengan lega. Dia hampir saja lemas mendengar penjelasan dokter. Untung cepat katanya. Berarti kalau terlambat sedikit... "Terus, nginep ya dok?"

"Iya. Sampai pulih dulu, ya? Ibu juga kayaknya punya penyakit maag. Makannya kurang teratur, ya?" Dokter muda itu tersenyum, "Nanti tolong dikonsultasikan sama dokter kandungannya. Berat ibu kayaknya kurang..."

Megan mengangguk saja. Kemudian dia kembali ke bilik Clara dan menatap perempuan yang sudah memejamkan mata itu. Dia mendesah beberapa kali.

"Awas aja abis ini Carlos sama Moreno. Gue betak habis-habisan biaya rumah sakit sama bensin anak orang. Ini cewek juga ngapain aja sih sampe kayak gini..." kemudian tangannya terulur pada perut Clara, "Babies, kalian apain Bunda sampe pendarahan, hah? Kalo kayak gini gue yang dimarahin semua orang"

Tidak ada getaran seperti biasanya. Tapi hanya pergerakan pelan dan kemudian membuat kening Clara mengernyit.

Megan menoleh kembali ke perut Clara, "Bubbles. Kalo ini cara kalian ngambek gak terima..." dia diam sebentar. Ragu untuk mengatakan kata-kata itu tapi kemudian berbisik pelan, "Kalo ngambek karena Ayah marahin Bunda, jangan bikin Bunda sakit terus Ayah panik. We got you, Babies. Tidur. Besok gue ujian"

RHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang