Tigapuluhempat

12.8K 1.5K 38
                                    

"Lo bikin salah apa sama Clara?"

Pertanyaan itu menyambut Megan ketika dia baru saja masuk ke dalam mobil kakaknya. Megan baru saja selesai jalan-jalan dengan motor kesayangannya dengan sahabatnya juga saat Moreno menjemputnya. Bahkan dia sampai harus rela berpisah dengan motor kesayangannya karena Moreno memaksa menjemput.

"Kenapa?" Megan balik bertanya kepada kakaknya yang duduk di kursi penumpang dengan cemas.

Moreno melambaikan tangannya menyuruh adiknya menyetir, "Mama mau nelfon Papa bilang ke dosen gue biar gue makin lama lulusnya kalo gak bawa lo ke rumah Clara"

"Hm... Pasti itu cewek ngomong enggak-enggak"

"Elo, lah! Elo yang bikin salah kalo sampe Mama marah begitu... Coba dipikir pake otak lo yang rasa encer itu"

Megan mengerling ke arah kakaknya, "Kok jadi gue? Emang tuh cewek aja yang bermasalah"

"Halah-halah. Drama. Lo sama aja keras kepalanya, Gan. Kalo ada salah ya diakui, direnungi, di..."

"Dilupain..."

Moreno mendelik ke adiknya lalu memukul dengan keras, kepala Megan.

"Setan!" Megan mendesis kemudian menatap nyalang kepada kakaknya, "Gue tendang lo, Ren. Biar mati di jalan sekalian"

"Heh! Bocah! Bisa gak kalo bikin masalah, jauh-jauh dulu dari gue. Jadi gue terus yang kena tiap lo bikin salah. Lo udah mau jadi bapak ya, Gan. Mikir dewasa dikit bisa gak sih?! Belajar dari kesalahan dong harusnya!"

Megan terbatuk dengan pelan. Tersedak karena kakaknya memarahinya tanpa jelas seperti ini. "Lo kok bacot. Eh kalo marah sama Mama ya marahnya sama Mama jangan sama gue! Orang gila..."

"Karena sumber kemarahan Mama itu elo!" Moreno mendengus dengan kasar kemudian memijit kepalanya, "Untung aja Papa seniornya atasan gue jadi gue bisa cabut seenaknya. Untung aja gue rajin. Diem, lo! Gue lagi meratapi karir gue yang terancam musnah"

Cowok itu juga sama sekali tidak membantah kakaknya dan sibuk membelah kemacetan jalan raya yang berada di depannya. "Itu cewek ngomong mau pisah kali makanya Mama marah sama gue"

"Kok lo tau?"

"Ya, apa sih omongan dia paling gak jauh-jauh dari pisah" Megan menjawab kebingungan kakaknya

Moreno menganggukkan kepala kemudian memijit keningnya dengan pelan, "Gan. Emang lo mau pisah gitu sama Clara?"

"Kalo Mama gak ngamuk-ngamuk terus Papa gak ngancem gue yang enggak-enggak..."

Kakaknya menggelengkan kepala, "Koslet lo berdua. Terus anak lo gimana?"

"Kan gue bilang gue gak..."

Moreno memukul dengan keras dashboard mobilnya dan kemudian membuat Megan terdiam.

Dan keheningan itu masih terus berlanjut sampai beberapa menit berikutnya. Ketika Megan tidak menyahuti kakaknya dan Moreno yang sama sekali tidak ingin bicara kepada Megan.

Hanya heran saja. Bagaimana bisa adiknya sekeras kepala itu dan masih saja tidak peduli dengan keadaan anaknya. Walaupun akhirnya Moreno ingat sifat keras kepala siapa yang turun kepada adiknya.

...

Carlos mengerjap beberapa kali sampai kemudian dia menunduk dan menyalami ibu Moreno kemudian duduk di dekat Clara.

"Sehat, Los?" Tanya Mama mertua adiknya kemudian dijawab anggukkan oleh Carlos

"Tante, kapan dateng?"

"Tadi. Kamu kok gak barengan Moreno?"

Carlos nyengir seadanya kemudian menjawab, "Ya, kan aku tadi ke kampus urus berkas. Renonya rapat sama client. Tante mau ketemu Moreno di rumah?"

"Iya. Sudah tante panggil karena adik kamu ngomong yang enggak-enggak"

Clara terlihat cemas dan menatap kakaknya meminta maaf

"Kamu gak pernah jelasin ke adik kamu kalo misalnya perempuan yang minta cerai itu gak bisa cium bau surga?"

Pertanyaan Mama mertua adiknya membuat Carlos menatap tajam ke Clara. "Lo minta cerai, Ra?"

"Adik kamu tanya apa boleh pisah setelah bubbles lahir..."

"Ra!" Carlos memejamkan matanya berusaha menghela nafas sesabar mungkin dan kembali menatap adiknya, "Ra harusnya lo ngomong dulu sama gue..."

Clara terlihat pucat sekarang, dia memilih menatap Carlos dengan takut dan merasa bersalah

"Tan, boleh aku bicara dulu sama adik aku?" Carlos bertanya dengan sopan lalu menghela nafas setelah ibu mertua adiknya itu mengangguk dan meninggalkan mereka berdua. Laki-laki itu meraih telapak tangan adiknya kemudian menghela nafas sekali lagi, "Ra..."

Clara mengangkat wajahnya dengan ragu lalu menatap Carlos. Dia tahu kakaknya menuntut penjelasan tapi tidak serta merta menanyainya. Perempuan itu berkata dengan pelan akhirnya, "Gue... Gak mau terus-terusan sama dia"

"I know. I'm sorry. Maafin gue gak bisa jaga lo sampe lo harus ngalamin semua ini, Ra..." Carlos membelai kepala adiknya dan mengulum ke dalam senyumnya, "Pelan-pelan, ya? Lo lagi labil, Ra. Jangan secepet ini ambil keputusan. Lo harus ngomong dulu sama gue..."

Perempuan itu menganggukkan kepalanya, kemudian menatap Carlos dengan bibir yang sudah manyun dan genggaman tangan yang kuat

"apa sih yang lo takutin, Ra? Kalo Megan gak memperlakukan lo dengan baik... Hm..." Carlos menghentikan ucapannya kemudian menatap salah satu foto mendiang kedua orang tuanya, "Dulu... Papa sama Mama juga sering bertengkar. Mama pernah bilang nyesel nikah sama Papa dan hampir bawa gue pergi, kan?" Laki-laki itu menatap adiknya kembali, "Tapi akhirnya, Mama gak jadi pergi karena Mama gak mau kita punya keluarga kepisah-pisah..."

Clara mengangguk kemudian menunduk dengan mata yang berair, "Iya,,,"

"Sama kayak lo, Ra. Setelah semua pertengkaran Mama sama Papa, akhirnya mereka belajar menerima keadaan dan akhirnya sama-sama, kan?"

Clara mengangguk sekali lagi dan meneteskan air matanya

"Belum mencintai bukan berarti harus pisah, Ra. Mencoba menyesuaikan ego itu gak cuma butuh satu atau dua bulan..."

Mama menatap dari balik pemisah yang berada di ruang keluarga. Menghela nafas dan mendengarkan bagaimana Carlos menjelaskan kepada adiknya yang sedang menangis dengan pelan di depannya. Perempuan paruh baya itu tersenyum

"Mungkin sekarang lo yang ngalah, sabar karena lo lebih dewasa dari Megan..."

Belum selesai Carlos menjelaskan kepadanya, kepala Clara sudah terangkat dengan menampakkan bagaimana sembabnya wajah perempuan itu dan air mata yang mengalir.

Carlos menyeka air mata adiknya dengan jarinya. Ah. Adik perempuannya. Menangis di depannya sekarang dan Carlos tidak bisa berbuat apa-apa selain menenangkannya

"Kalo gue memang gak bisa? Gue gak seperti Mama yang mau nerima Papa..."

"Mama nerima Papa demi kita, Ra..." Carlos menyingkirkan anakan rambut Clara dan menyelipkannya ke belakang kepala adiknya lalu menepuk pelan puncak kepala Clara dan tersenyum, "Dicoba, ya?"

"Sampe kapan lagi gue harus coba?"

"Ra,,," Carlos berusaha tersenyum kepada adiknya, "Gue kenal sama Megan dan gue yakin nanti pasti lo sama dia bisa kayak Mama sama Papa..."

Clara menggelengkan kepalanya dengan tidak setuju

"Udah. Ada gue, Ra. Lo kan punya gue selamanya buat dijadiin tempat ngadu..."

Clara menghambur begitu saja ke pelukkan kakaknya dan memeluk erat Carlos.

"Adik kecil gue..."

RHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang