Megan tidak pernah tahu bahwa seorang perempuan bisa menjadi hampir gila karena kehilangan anaknya. Megan pikir, semua akan baik-baik saja sampai akhirnya Clara semakin histeris dan kemudian semuanya berubah.
Perempuan itu akan berteriak mengusir Megan ketakutan dan bertindak posesif kepada Mikaila. Walaupun akhirnya Mikaila menangis dan Clara akan merasa sedih lalu menangis karena putrinya tidak mau berlama-lama di dekatnya. Lalu perempuan itu akan mengunci dirinya di kamar dan menangis. Terus-terusan seperti itu dan tidak ada yang bisa mendekat. Bahkan ibu mertuanya saja sampai kebingungan menghadapi Clara.
Satu minggu pertama, Megan masih berusaha mencoba menerima keadaan ini. Dua minggu membuat Megan hampir gila. Tiga minggu, Megan kehilangan kesabarannya.
Bukannya dia tidak sedih jagoannya meninggalkannya begitu saja. Tapi Megan rasa sikap Clara itu sudah berlebihan. Dia tahu perempuan itu tidak mau melihatnya. Tapi Megan tidak mengerti alasannya kenapa. Clara bisa pingsan jika Megan datang ke ruangan itu. Dan Megan muak dengan penolakan Clara yang tanpa penjelasan ini.
"Gan, jangan ya?" Mama menahan lengan putranya ketika anaknya itu baru saja datang dengan ransel sekolahnya dan menahan Megan di depan pintu kamar Clara
Sejak dua minggu yang lalu, Clara dan Mikaila sudah diperbolehkan pulang. Mama menginap di rumah Clara sementara Papa dan Moreno hanya datang dari pagi sampai malam saja. Megan juga kadang menginap, tapi berada jauh dari jangkauan pandang Clara mengingat betapa menakutkannya Megan untuk seorang Clara.
"Tapi, Ma..." Megan berusaha melepaskan pegangan Mama pada lengannya tapi ibunya semakin menggelengkan kepala melihat Megan yang bersikeras untuk masuk ke dalam
Mama mengajak Megan menjauhi pintu kamar Clara kemudian bertanya, "Hari ini pengumumannya, ya? Anak Mama lulus?"
Megan menganggukkan kepalanya dengan lemah, "Iya. Nilai Megan masuk paling tinggi di sekolah..."
Mata perempuan paruh baya itu tidak bisa menyembunyikan sinar kebahagiaannya. Setelah apa yang dialami putranya, tapi masih bisa berprestasi. Mama tersenyum bahagia, "Bagus... Pinter-pinter ya, Gan"
"Aku mau liat..."
Wanita itu menggelengkan kepalanya dan berubah menjadi khawatir, "Kasian Clara baru aja istirahat..." Mama mengusap pelan tangan putranya, "Pelan-pelan ya... Clara masih suka nangis. Kamu ngerti ya?"
"Tapi masa ketemu Megan aja gak mau, Ma? Aku kan juga mau bilang kalo hari ini aku lulus, Ma"
Mama menghela nafas mendengar pertanyaan anaknya, "Sayang... Perempuan mana yang gak ketakutan lihat suaminya setelah mereka kehilangan bayinya? Kamu pikir gak berat buat Clara yang harus ketemu kamu? Gan, Mikaila itu deketnya sama kamu, sedangkan Kael itu nyamannya sama Clara. Wajar kalo Clara sampai begini. Mungkin sekarang Clara lagi kepikiran kabur dari kamu kalo kamu paksa terus begini..."
"Kok bisa sih, Ma? Megan salah apa? Aku juga berat Ma. Aku juga ngerasain hal yang sama kenapa..."
"Gan..." Mama menyela dengan sabar. Kembali menjelaskan kepada putranya ini kemudian, "Clara takut ketemu kamu. Dia ngerasa bersalah karena Kael apa kamu gak liat? Clara ngerasa gagal jadi ibu"
Megan menyipitkan matanya, "Tapi Clara kan..."
"Ya, makanya dia takut ketemu kamu karena dia punya pikiran sudah bunuh anak kalian, Gan. Takut kamu marah ke dia. Makanya dia jadi begitu..."
"Mana mungkin sih, Ma. Masa Megan marah-marah gitu..." Megan mencoba memahaminya. Dia menghela nafas dengan lemah. Percuma saja dia mendapat ranking bagus di sekolah kalau memahami hal ini saja tidak bisa.

KAMU SEDANG MEMBACA
RH
ChickLitThankyou yang sudah membuat RH sampai di peringkat 30 di chicklit. We're nothing without you. Cerita ini didedikasikan untuk followers saya. Maaf sebelumnya, terimakasih. Mabuk di kelab malam enggak bakalan bikin lo h...