Why, Why and Why

2.5K 99 6
                                    



Melepas semua kenangan yang sudah tercipta cukup lama itu tidak mudah. Hati masih menolak untuk menghapus semua yang telah dijalani saat masih berdua. Namun keadaan memaksa ku untuk melepas semua nya. Hati meminta jangan ada air mata sendu namun tetap saja jari-jemari ingin menggapai punggung mu yang biasa ku pinjam untuk melukis kisah kita berdua.

"Ai, kenapa diem aja?" Mona menyapa ku saat baru datang. Sejak tadi fikiranku memang tertuju pada Kak Abram.

"Ha? Enggak kok, cuma lagi mikirin tugas aja. Heheheh...."

"Oh tugas. Yailah, gak usah difikirin lagi mending dikerjain biar cepet selesai. Bener kan gue?"

Aku tertawa "Hahaha...iya-iya Mon, bener kok. Kalau dipikirin doang gak kelar-kelar ya tugas."

"Nah itu tahu, cerdas kan gue?" Mona dengan gaya nya yang membanggakan diri

"Iya cerdas." Aku hanya terkekeh.

"Eh, nanti kita hangout yuk?"

"Ayuk, kemana? Gimana kalau ke kafe?"

"Boleh, kafe mana?"

Aku berfikir sejenak. Hari ini aku sedang ingin pergi ke sebuah kafe yang biasa aku datangi bersama Kak Abram. Entah mengapa aku ingin sekali ke sana. Rindu ini menyelinap masuk ruang hatiku memaksa otak ku untuk mengiyakan.

"Kafe Raja Kopi aja yuk?"

"Oke, pulang kuliah kita langsung kesana."

Hari ini hanya satu mata kuliah karena dosen dokter ku mendadak tidak bisa hadir karena ada pasien operasi. Masih pukul 11.00 siang. Aku dan Mona langsung ke kafe Raja Kopi. Tak jauh dari kampus ku. Hanya menempuh waktu 15 menit. Sampai disana aku memesan Coffee Latte dan sepotong cake. Begitu pun Mona yang hanya memesan Cappucino.

Sambil menunggu pesanan datang, aku memainkan smartphone ku. Aku mencoba mencari background yang cocok untuk selfie.

"Aku juga mau dong Ai, mau foto."

"Iya, tapi nanti dulu. Aku mau selfie dulu sekali."

Saat aku mencari background yang pas, aku melihat sosok laki-laki yang ku kenal. Aku fikir salah orang, namun semakin ku perhatikan dari layar smartphone ku, wajah itu kentara jelas milik nya. Ia tertawa begitu lepas bersama dua teman pria nya dan tiga perempuan tertawa lepas bersama. Sosok laki-laki yang ku kenal itu terlihat sangat bahagia. Bodohnya aku yang masih seringkali memikirkannya sampai membuatku melamun dan terkadang menangis sendiri.

Mata ku mulai berkaca-kaca. Menggenang sampai penglihatan ku rasa nya kabur.

"Ai, lo kenapa? Kok kayak mau nangis gitu?"

"Ah, enggak kok. Mata aku pedes aja liat layar handphone terus."

"Masa sih? Gua bukan anak kecil yang bisa dibohongin. Lo nangisin apaan? Cerita dong Ai."

"Gak papa kok, Mon. Kita pulang aja yuk. Pesanan nya kita bawa pulang aja. Mendadak aku gak enak badan."

"Serius lo sakit? Coba sini kening lo." Mona memegang kening ku. "Gak panas."

Aku tersenyum sambil merasakan getir. "Udah yuk, aku mau pulang. Ayo buruan." Nada suara ku mulai berubah antara ingin marah, kesal dan menangis.

"Iya-iya sabar. Ada apa sih sebenar nya Ai?"

"Nanti aja cerita nya." Aku menarik tangan Mona untuk segera beranjak dari kafe tersebut. Dada ku sesak sekali rasanya. Mona hanya mendumel karena sikap ku yang tiba-tiba mengajak nya pulang.

"Kenapa sih nih anak, dia yang ngajak dan sekarang tiba-tiba minta pulang. Kadang suka bingung." Mona sangat tak habis fikir dengan perubahan Aila yang tiba-tiba.

The Greatest HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang