Jam ditangan ku menunjukkan pukul 17.00 WIB. Saat ini aku terjebak macet dalam perjalanan menuju klinik Morula milik dokter Assyraf. Satu jam lebih aku terjebak macet sehingga aku sampai diklinik pukul 17.30 WIB. Aku turun dari sebuah grab-car.
"Terima kasih ya Pak."
"Sama-sama mba."
Aku melangkahkan kaki menuju pintu masuk klinik.
"Selamat sore, mba Aila." ucap mba Kia tersenyum manis. Mba Kia adalah seorang lulusan rekam medis. Ia bekerja di klinik dokter Assyraf sudah dua tahun di bagian administrasi.
"Selamat sore, mba Kia." Aku membalas senyuman nya. "Oh iya, mba. Dokter Aga ada?"
"Ada, sedang visite pasien di kamar VIP tulip. Tunggu saja mba, nanti beliau kesini."
"Oke deh mba, aku duduk di sebelah sana ya."
"Baik mba."
Tak berapa lama dokter Aga datang dengan berkas status pasien di tangan nya dan menyerahkan nya pada mba Kia. Aku menghampiri nya.
"Assalamu'alaikum. Selamat sore, dok."
"Wa'alaikumussalam. Aila ya?"
"Iya dok."
Dokter Aga memiliki postur tubuh tinggi seperti dokter Assyraf. Namun dokter Aga memiliki kulit yang lebih putih dibanding dokter Assyraf. Dokter Aga memiliki wajah seperti oppa oppa Korea, hehehe. Tetapi kedua nya memiliki kadar ketampanan yang sama menurut ku.
"Hmmm, sekarang waktu nya begitu nanggung. Habis maghrib baru mengunjungi pasien nya ya? Kamu boleh menunggu di ruangan dokter Assyraf sekalian shalat disana saja nanti. Itu pesan dokter Assyraf."
"Hmmm, iya dok baik."
"Ya sudah kalau gitu kita kesana, sekalian saya mau ke ruangan saya untuk menaruh jas."
"Baik dok."
Aku jalan berada dibelakang dokter Aga. Ada rasa canggung dan segan.
"Kenapa jalan nya dibelakang saya? Jalan beriringan saja, tidak usah segan. Saya berteman baik dengan dokter Assyraf." ucap dokter Aga tersenyum ramah.
"Iya dok." Aku tersenyum dan menyamakan langkah nya.
"Kamu kekasihnya Assyraf? maksud saya dokter Assyraf?"
Aku tertegun sejenak "Eh? Bukan dok, saya mahasiswa nya."
"Mungkin sebentar lagi kamu akan jadi kekasihnya."
"Gak mungkin lah, dok. Saya dan dokter Assyraf hanya sebatas dosen dan mahasiswa." Aku tersenyum kikuk.
Dokter Aga tersenyum "Saya sangat mengenal bagaimana Assyraf."
Aku bingung hendak menjawab apa dan aku terdiam sejenak.
"Dokter sudah lama mengenal dokter Assyraf?" aku bertanya untuk mengalihkan pembicaraan hal yang membuat ku canggung.
"Ya bisa dibilang begitu, sejak awal perkuliahan menjadi mahasiswa kedokteran dan sekarang sama-sama sudah menjadi spesialis. Saat mengambil spesialis pun kami di satu univ yang sama di luar negeri."
"Wah, friendship goals banget ya dok, hhehe."
"Ya begitu lah, Assyraf itu adalah laki-laki sempurna di mata saya, bahkan meskipun saya laki-laki saya juga mengagumi nya. Dia cerdas, tampan, mapan, ilmu agama nya baik, pengetahuan nya luas, pandai menjalin kerja sama, namun kekurangannya hanya satu."
"Menurut saya dokter juga demikian, cerdas, tampan, mapan. Kalau tidak mana mungkin dokter bisa menjadi spesialis. Hhehe... memang nya apa dok kekurangannya?"
Saat ini kami sudah berada di dalam lift menuju lantai teratas yaitu lantai 4.
"Belum memiliki pasangan. Padahal saya sudah memiliki anak satu tapi dia belum juga menikah. Dia sangat sulit untuk hal satu itu."
Aku jadi berfikir sejenak, apakah dokter Assyraf belum menikah sampai sekarang karena belum bisa move on dari mba Lina? Sebesar itu kah cinta dokter Assyraf pada mba Lina? Ada rasa sesak di dalam dada ku, berfikir demikian.
"Wah dokter lebih maju selangkah dari dokter Assyraf kalau begitu, hhhehe." Aku mencoba menutupi rasa sesak ku. "Istri dokter beruntung sekali memiliki suami seperti dokter."
"Tidak juga. Justru saya yang merasa beruntung memiliki nya. Saya bertemu istri saya saat masih cupu menjadi mahasiswa kedokteran. Assyraf pun sangat mengenal baik istri saya. Saya dulu tidak pandai bergaul. Istri saya ketika itu berada di fakultas teknik prodi arsitektur."
"Saya tidak percaya kalau dokter dulu cupu. Wajah dokter itu seperti wajah anak gaul hhehe."
"Ya kalau sekarang kan sudah lebih percaya diri." Dokter Aga terkekeh.
"Progres ya dok, hhehe...bagaimana dulu dokter bisa berkenalan dengan istri dokter?"
"Saat di perpustakaan. Dia sedang menggambar dan saya duduk di hadapan nya membaca buku karena tidak ada bangku lain yang kosong."
"Yang ngajak kenalan duluan siapa dok?"
"Istri saya. Saya ketika itu tidak berani menyapa perempuan. Dia ramah dan baik, cantik dan fashionable."
"Wah dokter ternyata dulu benar-benar pemalu. Sekarang usia anak dokter berapa dok?"
"Ya begitu lah. Baru 6 bulan, usia pernikahan saya baru 2 tahun."
"Wah masih gemesin usia segitu dok, hhehe."
"Iya, kapan-kapan kamu dengan Assyraf main ke rumah ya sekalian saya kenalkan dengan istri saya. Nanti saya bilang pada Assyraf."
"Hhhehe, memang boleh dok?"
"Kenapa tidak? Apalagi kamu calon istri sahabat saya."
"Ha? Dokter apaan sih." Aku tersenyum malu yang membuat pipi ku merona.
"Saya justru senang kalau kalian benar menjadi pasangan. Kasihan sahabat saya sudah memasuki kepala tiga masih menjomblo." Dokter Aga tertawa.
"Wah dokter, awas dokter Assyraf denger, hhehe..."
"Dia kan masih di Yogya."
Kami pun tertawa. Tidak ada rasa kecanggungan di antara kami. Dokter Aga begitu ramah dan bersikap layaknya teman sebaya sehingga aku tak merasa begitu kaku. Namun aku pun tetap harus bersikap hormat karena bagaimana pun dokter Aga adalah sahabat dokter Assyraf yang status nya adalah dosen ku. Sebagaimna aku menghormati dokter Assyraf.
"Jangan menaruh harapan meski ingin sekali berharap. Sebab,pengharapan hanya akan membuatmu sakit akhirnya. Harapan harus diikhlaskan bukan di genggam erat. Ikhlas sama hal nya tidak menuntut dan tidak memaksa. Maka,ketika itu Tuhan tahu pengharapanmu yang tulus terbang ke angkasa. Ke Arsy Allah. Semoga harapan adalah do'a yang kelak dikabulkan."
(Aila Naras Dimantoro)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Greatest Husband
RomansaSaat pertama kali Abram menatap Aila dengan mencuri-curi kesempatan. Saat Abram mencoba menghidupkan suasana dan renyah tawa untuk mendekati Aila. Di suatu tempat yang akhirnya menjadi tempat favourite untuk mereka. Akan kah mereka terus menyatu dan...