Why Me (?)

2.4K 113 1
                                        

Embun pagi menyapa bersama mentari yang muncul dengan membawa sinar keemasan dan kehangatannya. Mensyukuri setiap hari dalam nikmat hidup yang sudah Tuhan beri. Menyusuri perjalanan dengan kendaraan umum. Aku tersenyum dan menarik nafas kemudian menghembuskannya. Sejak tadi melodi bahagia menari-nari di telingaku, menemani sampai tibanya aku di kampus.

"Ai, tunggu." seseorang memanggil yang membuatku menoleh ke belakang. Aku membalas senyumnya, ia teman sekelasku, nama nya Almira.

"Tumben kamu berangkat pagi, Ra." tanya ku pada nya.

"Iya, tadi berangkat bareng Abangku. Dia harus berangkat ke Rumah Sakit."

"Ke Rumah Sakit? Ada keluarga mu yang sakit?" tanya ku heran.

"Tidak, aku lupa memberitahu kamu ya, Abang aku itu kuliah kedokteran. Dia baru lulus dan sekarang lagi koas, satu angkatan sama mantan mu itu loh. Hehehe."

"Oh gitu, jahat banget sih aku baru tahu masa."

"Hehhee....maaf loh, aku lupa ngasih tahu, lagipula gak banyak yang tahu kalau aku punya Abang disini. Males aku kalau ada yang tahu."

"Loh kamu barusan ngasih tahu aku loh."

"Ya gapapa kamu kan teman terdekatku." Ra menyengir kepadaku.

Aku jadi teringat dengan teman ku itu, Ara. Aku juga kangen kampus. Ara tidak satu kelompok dinas dengan ku. Meskipun dinas di Rumah Sakit yang sama, kami belum sempat bertemu sudah hampir dua minggu dinas disini. Dan lusa dinas ku akan berakhir.

Aku berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit menuju ruang Radiologi dengan membawa berkas pasien. Aku berpapasan dengan dokter Assyraf kemudian tersenyum pada nya. Dokter Assyraf tersenyum.

Aku melanjutkan langkah ku menuju ruang Radiologi, setelah memberikan berkas aku kembali ke ruangan. Seorang senior perawat memanggilku.

"Dek, sini." Aku pun menghampirinya. Nama nya Kak Furqon, ia senior tingkat empat.

"Iya Kak, ada yang bisa saya bantu?"

"Kamu sudah pernah melakukan pengambilan darah ke pasien?"

"Belum Kak."

"Kamu mau nyoba?"

"Eh? Mau Kak tapi boleh gak kalau aku lihat Kakak dulu yang melakukan injeksi?" aku menyengir kuda, jujur aku takut banget praktek yang satu ini.

Kak Furqon pun memberikan contoh pada pasien yang memang mau diambil sampel darah. Ada dua pasien yang harus diambil sampel darah nya pada hari ini. Aku memperhatikan dengan seksama meskipun terasa linu dan agak takut melihatnya.

"Nah selesai. Mudah kan?" kak Furqon menatap ku dan tersenyum. Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepala. "Silahkan Bapak beristirahat kembali ya, Pak." Kak Furqon kemudian membereskan alat dan merapikan pasien.

"Terima kasih ya, Nak." Bapak tersebut tersenyum kepada kami.

Aku dan Kak Furqon pun keluar dari kamar pasien dan menuju kamar pasien selanjutnya.

"Kamu masih takut?" Kak Furqon bertanya sambil kami berdua menyusuri lorong.

"Sedikit kak."

"Kamu harus biasakan diri untuk gak takut, ini nanti kamu loh. Mau nyoba? Biar kakak yang jadi pasien kamu dulu sebelum ke pasien beneran."

"Hehheh, iya sih, Kak. Ha? Serius nih Kak?"

"Iya serius, kakak lagi baik hati ini. Mau gak?"

"Mmm, oke deh Kak."

The Greatest HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang