Saat kamu memilih ku
Dan aku memutuskan untuk menerimamu
Aku...sudah siap
Perihal tentang mu
Bahwa bukan pria biasa
Benar, aku yang akan lebih banyak tersakiti
Namun, itu konsekuensi
Dan aku percaya bila kamu menjaga
Maka aku akan berusaha kuat
Aku berangkat pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan presentasi. Hari ini aku ada presentasi materi kuliah Bu Gita. Aku tidak mau jika tidak memberikan yang terbaik,aku ingin totalitas. Sejak tadi malam aku memahami materi ini agar aku bisa tampil memuaskan.
"Ai, tumben udah dateng, berangkat ke kampus jam berapa?" tanya Mona.
"Jam 7 Mon, aku lagi mahamin bahan untuk presentasi."
"What? Nih anak kerajinan atau gimana ya, hhehe..." mendengar penuturan Mona aku hanya tersenyum. "Eh ngomong-ngomong Ai, kamu jadi lebih banyak belajar dan ngabisin waktu dikampus ya setelah putus dari Kak Abram. Oke, kamu emang rajin dan smart tapi ini udah kelewet rajin. Kamu lagi berusaha move on?"
Aku yang tadi nya terpaku dengan layar laptop menjadi terdiam sejenak. Apa yang Mona tebak memanglah benar. Aku berusaha mencari pelarian agar tidak memikirkan Kak Abram. Rasanya bila mengingat nama itu hanya kekecewaan dan sakit yang ku rasa. Hati ku selalu menangis mengenai diri nya.
"Jangan bahas nama itu lagi ya." aku tersenyum dengan dipaksakan.
"Oh, oke. Sorry ya Ai, gak maksud bikin sedih."
"Gak papa kok Mon. Aku permisi ke toilet dulu ya. Titip tas dan laptop." Aku bangkit dari tempat ku duduk.
"Oke siap."
Saat di toilet aku bertemu dokter Lia saat hendak bercermin. Ia tersenyum ramah. Sangat cantik. Aku bertemu dengan nya kemarin saat menemani dokter Assyraf membeli notebook. Satu hal yang ku tahu bahwa dokter Lia begitu dekat dengan dokter Assyraf sebagai teman angkatan nya. Namun apakah ada pertemanan yang begitu dekat tetapi murni tak ada rasa lebih?
"Hai Ai."
"Hai, dok." Aku tersenyum. Ada rasa kecanggungan. Entah mengapa aku merasa minder berada di samping dokter Lia. Terlebih kini kami sama-sama sedang bercermin. Dokter Lia begitu cantik, tinggi dan memiliki kulit yang cantik. Pasti selalu perawatan.
"Hallo, ada apa Raf?" dokter Lia mengangkat telpon 'Raf' aku taka sing mendengar panggilan itu. Itu panggilan dokter Assyraf oleh dokter Lia karena saat kemarin bertemu ia memanggil dokter Assyraf dengan singkat 'Raf'.
"Kamu tuh kebiasaan dari dulu gak berubah. Iya nanti aku jemput ke apartemen." Aku melirik dokter Lia kemudian nenalingkan wajah khawatir ketahuan.
"Saya duluan ya Ai." Dokter Lia tersenyum.
"Oh iya dok." Aku tersenyum.
Kenapa hati ku bicara bahwa yang telponan dengan dokter Lia tadi adalah dokter Assyraf. Kenapa rasa nya sesak sekali ya? kenapa ada rasa khawatir bahwa kejadian aku dengan Kak Abram yang lalu akan terulang kembali. Tapi kan aku tidak menjalin hubungan dengan dokter Assyraf. sungguh aku masih sulit memahami perasaan.
***
"Ai lu udah tahu belum?" Mona berbisik di telinga ku setelah pembelajaran hari ini selesai. Aku bersyukur berhasil menampilkan yang terbaik saat presentasi.
"Tahu apaan?" aku menatap Mona bingung.
"Tapi lo jangan kaget, jangan nangis, oke? Gimana pun juga lo harus tahu ini."
"Emang apaan sih? Pake acara jangan kaget dan nangis."
"Kak Abram, Ai."
"Kak Abram kenapa?" aku mendadak panik karena yang ku fikirkan sesuatu hal buruk terjadi pada nya.
"Kak Abram pacaran lagi dengan teman satu angkatan nya. Lo tahu orang nya kok."
Aku langsung terdiam. Aku bingung harus apa. Sesak sekali rasa nya, mata ku terasa panas dan mulai dipenuhi cairan bening yang siap tumpah kapan saja.
"Ai, are you okay?"
"Gak papa kok Mon, itu kan hak Kak Abram." Aku menyeka air mata dan mencoba tersenyum.
"Ya gak bisa gitu Ai, dia ngingkarin apa yang di ucapin. Dia bilang mau fokus pendidikan kan saat putus sama kamu? sekarang apa coba? Dan keterlaluan nya jadian sama Kak Nadya yang sering kamu cemburuin saat masih sama Kak Abram."
"Udah Mon, aku gak papa kok. Biarin Kak Abram nemuin kebahagiaan nya sendiri." Aku tersenyum dengan sangat dipaksakan.
"Gue tahu lo sakit banget Ai, kenapa sok tegar depan gue sih? Gue berdo'a banget nih ya lo dapet dokter yang lebih hebat dari Kak Abram itu. Pokok nya pria hebat, dokter hebat, prince charming."
Aku terhibur dengan ucapannya yang membuatku sedikit tertawa "Duh, Mon. Kak Abram aja aku hampir gak sanggup karena orang-orang selalu gosipin buruk tentang aku. Apalagi yang lebih hebat dari dia? Kamu mau buat sahabat mu ini mati karena tekanan banyak orang? Mereka bilang gak pantas lah, apa bagus nya aku lah,sampai ada yang bilang aku melet pake guna-guna apa lah itu."
"Hmmm....Ai-Ai. Mereka tuh cuma iri aja sama kamu. Kamu itu perempuan yang beruntung selalu yang suka sama kamu itu cowok-cowok populer, smart dan punya pengaruh. Kamu itu cantik Ai, kamu juga smart, kamu baik dan tulus. Itu yang buat cowok-cowok hebat bin kece itu jatuh hati sama kamu. segala tingkah laku kamu ini kayak seorang Ratu. Bijaksana dan juga damai meskipun kadang kekanakan kayak princess, hhehe."
"Ih Mona apaan sih. Udah ah, ayo kita pulang."
"Ayok lah, jadi siap move on yah? Cowok kayak Kak Abram itu gak pantes buat kamu Ai."
"Duh Mona, stop sebut nama itu."
"Iya-iya maaf deh."
"Tidak bisa dipungkiri bahwa hati ku teramat sakit. Namun perlahan tapi pasti aku akan menghapus semua rasa yang masih tersimpan untuk seorang Abram. Cukup kisah Aila dan Abram sampai disini saja. Ia telah berbahagia."
(Aila Naras Dimantoro)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Greatest Husband
Lãng mạnSaat pertama kali Abram menatap Aila dengan mencuri-curi kesempatan. Saat Abram mencoba menghidupkan suasana dan renyah tawa untuk mendekati Aila. Di suatu tempat yang akhirnya menjadi tempat favourite untuk mereka. Akan kah mereka terus menyatu dan...