Rahasia Takdir

2.9K 109 8
                                    

Satu bulan ku lewati, namun ada yang berbeda karena aku merasa semakin ada jarak dengan kak Abram. Biasa nya sesibuk apa pun Kak Abram, ia selalu menyempatkan waktu untuk ku. Aku menjalani hari-hari ku dengan kesibukan kuliah sehingga untuk menangisi Kak Abram pun tak pernah. Di kampus, setiap kali aku pulang malam aku selalu di antar Kak Ardan. Entah mengapa secara tidak sadar kami semakin dekat, namun aku biasa saja. Bahkan kadang tak perduli dengan pertanyaan anak-anak teknik yang menanyai hubungan kami. Sampai-sampai aku sempat di labrak oleh mantan Kak Ardan. Ia adalah Kak Dilla dari Fakultas Seni dan Tari. Cantik memang, namun aku tidak suka dengan sikap nya. Aku tak perduli dengan dirinya yang marah-marah karena aku memang tak ada hubungan special dengan Kak Ardan. Dan aku rasa Kak Dilla tak berhak lagi atas kehidupan Kak Ardan karena statusnya sudah mantan. Banyak sekali hal yang membuat ku terkejut. Seperti sore tadi Kak Abram mengajak ku ketemuan di Cafe Carita. Tanpa ada angin dan hujan, perkataannya seperti petir yang bergemuruh. Membuat dada ku sesak saat itu juga.

"Ai, lebih baik kita putus saja ya?" aku hanya diam dan tidak bisa berkata apa pun. Ingin menangis tapi tak bisa. Dan bodohnya aku menjawab "Iya." Tanpa ingin tahu alasan sesungguhnya mengapa Kak Abram mengambil keputusan ini.

"Ma'afin Kakak karena akhir-akhir ini sibuk dan lupa dengan mu. Jadi kakak rasa ini yang terbaik."

Aku masih diam, aku hanya menjawab dalam hati tanpa mengeluarkan suara. "Apa dia bilang? Sibuk? Lupa? Terbaik? Kenapa ia menyerah hanya karena itu, padahal aku berusaha mati-matian untuk bertahan."

Aku tak mengerti dengan jalan fikirnya. Ku fikir aku yang akan menyerah namun aku salah. Aku ingin segera beranjak pergi dari hadapannya, aku benar-benar seperti tak bersemangat. Bagaimana dengan Bunda saat mendengar ini? Bagaimana dengan yang lain? Hah, Aila mengapa dalam perasaan yang sedang berkecamuk seperti ini saja kamu masih memikirkan orang lain yang tidak ingin kau buat kecewa.

"Biar kakak antar kamu pulang ya?"

"Tidak usah, aku ingin pulang sendiri."

"Jangan begitu, biar kakak antar."

"Aku gak bilang gak usah ya gak usah. Jangan perdulikan aku lagi." dengan nada tinggi dan kesal aku menjawab. Aku pun segera pergi dari hadapan Kak Abram.

Aku merasa sakit dan bingung dengan apa yang harus ku lakukan sekarang. Ingin menangis tapi tak bisa. Aku kembali ke kosan kemudian berbaring di tempat tidur hingga terlelap karena merasa lelah. Saat pagi hari aku menelpon Bunda.

"Bunda lagi apa?"

"Lagi rapat, ada apa sayang?"

"Aku mau cerita, aku putus dengan Kak Abram." mata ku berkaca-kaca saat berkata demikian. Rasa nya ingin menangis saat itu juga karena sudah tak mampu ku bendung.

"Kenapa putusnya?" Air mata ku menetes. Aku menangis mengingat Bunda sudah klop sekali dengan Kak Abram. Namun sekarang harapan itu pupus. Suara ku tertahan saat ingin menjawab. Aku mencoba menarik nafas dengan perlahan agar tidak terdengar oleh Bunda bahwa aku menangis.

"Gak tau tuh Bunda, Kak Abram nya." ucapku menahan sesak dan tangisan.

"Ya sudah gak usah difikirkan, belajar saja yang rajin ya, Nak. Semoga dapat yang lebih baik. Sekarang fokus saja untuk kuliah Aila."

"Iya, makasih Bunda."

"Ya sudah, Bunda tutup dulu ya, masih rapat soalnya."

"Iya Bun."

Ya, Bunda ku adalah sosok yang sederhana. Dan tak pernah menyalahkan pihak mana pun sekali pun aku menangis. Ia hanya ingin mengajarkan kepada anak nya untuk bersikap dewasa dan bijaksana dalam permasalahan apa pun.

The Greatest HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang