"Penawar duka, penghapus luka, penangkal air mata. Senyum ku hampa kemudian hambar tak berasa."
.
.
.
Jadwal shift telah usai dan saatnya aplusan dengan yang akan dinas pagi. Suatu kewajiban agar tidak terjadi miss komunikasi perihal tindakan apa saja yang sudah dilakukan terhadap pasien.
"Teh Ine, hari ini dokter Assyraf masuk gak?" tanya dokter Gea pada bidan Ine yang akan lepas shift.
"Masuk kayaknya, beliau cuma izin sehari."
"Oke deh makasih teh."
"Sama-sama dok."
Dokter Gea kemudian berlalu melihat jadwal operasi di sebuah papan. Suatu kebetulan sekali ia satu ruang operasi bersama dokter Assyraf. Tanpa sadar senyumnya mengembang, jantungnya tiba-tiba berdebar dan tak mampu menyembunyikan kebahagiaan yang membuncah.
"Pagi dok." ucap salah satu bidan jaga. Dokter Gea menoleh dan mendapati dokter Assyraf yang baru saja tiba. Entah mengapa, pria itu semakin tampan dan bersinar di mata dokter Gea hari ini.
"Pagi, dok." ucap dokter Gea tersenyum yang dibalas dengan sebuah senyuman. Dokter Gea begitu bahagia bahkan ruang dada nya terasa penuh karena menahan rasa bahagia nya.
Dokter Assyraf sedang bersiap untuk melakukan operasi caesar. Ia sedang mencuci tangan. Dokter Gea berdehem, residen di tahun kedua itu memberanikan dirinya untuk bertanya pada dokter Assyraf sambil mencuci tangan disamping dokter yang terkenal dingin namun berjiwa hangat itu. Ya, dingin terhadap semua orang namun hangat terhadap setiap pasien.
"Kemarin kemana dok?" tanya dokter Gea ragu-ragu.
"Ada urusan keluarga." ucap dokter Assyraf dengan wajah datar.
"Oh gitu." dokter Gea kemudian mengangguk.
Dokter Assyraf memasuki ruang operasi. "Yang abis lamaran mah beda aura nya." ucap dokter Ghani, dokter anestesi yang juga teman dokter Assyraf semasa kuliah dokter umum kemudian sempat terpisah karena mengambil spesialisasi yang berbeda. Dokter Assyraf hanya tersenyum dibalik masker nya.
"Dokter tampan dan single jadi berkurang di rumah sakit ini." ucap Kak Vivi, perawat yang cukup senior.
"Cie dokter, udah gak sendiri lagi lah ya dok." ucap Kak Queen.
Seluruh tenaga kesehatan yang ada di dalam ruang operasi terus saja menggoda dokter Assyraf yang baru lamaran itu.
Hati dokter Gea cukup tersayat, mata nya berkaca-kaca kemudian sesekali ia melihat ke atas agar air mata nya tak tumpah. Ekspresi nya sudah tak bisa dijelaskan, namun untung saja saat ini ia memakai masker. Selama melakukan operasi, dokter Gea tidak fokus. Bahkan dokter Assyraf berkali-kali menarik nafas dalam untuk menahan amarah nya.
"Kalau kamu tidak fokus, lebih baik diluar saja."
Dokter Gea terdiam, ia tahu bahwa dokter Assyraf tidak pernah marah, dalam marah nya pun ia masih mampu menahan nya. Karena ada beberapa dokter yang langsung menampakkan amarahnya. Suara dokter Assyraf terdengar dingin. Bahkan seluruh yang ada di ruangan rasanya mampu untuk merasakan dinginnya. Dokter Gea kemudian keluar.
Air mata dokter Gea mengalir, ia tak mampu lagi menahan. Residen di tahun kedua itu berlari menuju ke toilet. Ia kemudian menangis dengan suara tertahan karena khawatir ada seseorang yang mendengarnya.
Setelah hatinya tenang, dokter Gea mencuci muka kemudian menuju ruang IGD obgyn untuk mengisi rekam medis. "Lu darimana aja sih? Ditelponin gak diangkat?" tanya dokter Roy, residen di tahun kedua sekaligus sahabat dokter Gea sejak masa kuliah kedokteran umum.
"Hmmmm." Dokter Gea hanya bergumam.
"Lu kenapa sih? Gue denger lu dikeluarin sama dokter dingin itu pas di ruang operasi?" tanya dokter Roy penasaran.
"Iya gue gak enak badan jadi gak fokus."
"Ada yang lu sembunyiin ya? cerita dong ama gue." ucap dokter Roy, dokter Gea hanya menggeleng.
"Berseri-seri yang abis lamaran mah, ya dok ya?" ucap Teh Eva saat dokter Assyraf datang ke nurse station untuk meminta rekam medik milik salah satu pasien.
"Jadi kapan ini dok undangan nya nyebar?" tanya Kak Intan.
Seluruh tenaga medis terus saja menggoda dokter Assyraf, sang konsulen termuda itu. Begitu pun dengan residen yang lain ikut menggoda. Ekspresi dokter Assyraf hanya datar dan sesekali tersenyum.
"Tunggu tanggal mainnya aja teh." ucap dokter Assyraf kemudian.
Menyadari percakapan tersebut, dokter Roy sedikit terkejut dan mengerti mengapa sahabat nya itu sampai tak fokus saat di ruang operasi.
"Lu udah tahu ini?" bisik dokter Roy yang hanya dibalas anggukkan dokter Gea. Dokter Roy menghela napas "Nasib elu Ge, baru jatuh hati eh gak tau nya calon laki orang."
***
"Mas mau konsul dong." sebuah pesan dari Aila membuat dokter Assyraf tersenyum sumringah. Gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.
"Jadi, aku ada pasien inparturien. Udah masuk fase deselerasi, ini udah satu jam setengah tapi belum lengkap juga. Gimana Mas?"
"Gapapa sayang, tunggu sampai 30 menit lagi. Kalau masih belum lengkap, rujuk."
Dengan cepat Aila membalas lagi, saat ini mereka sama-sama sedang online. "Jadi gapapa ya Mas?"
"Iya sayang."
"Ya udah Mas, makasih luv." balas Aila dengan dibubuhi emot hati.
***
Aila sedang mencoba mengafirmasi pasien inparturien. "Tarik nafas yang panjang bu, rileks, resapi, kemudian hembuskan perlahan." Suasana ruang VK di klinik tempat Aila bekerja tak pernah berhenti dari suara murottal Al-Qur'an. Hal ini sangat membantu untuk pasien-pasien merasa rileks.
"Kak sebentar lagi kalau gak lengkap juga harus rujuk nih." ucap Aila.
"Kamu udah konsul sama calon suami mu?"
"Udah, kalau 2 jam ini gak lengkap juga saat fase deselerasi, harus rujuk, kemungkinan akan di vakum."
"Oke deh, ya udah siap-siap, kakak siapin mobil dulu."
"Iya kak."
Aila kemudian menginformasikan kepada keluarga pasien perihal keadaan Bu Irma saat ini.
"Bapak saya boleh bicara sebentar ya?" ucap Aila terhadap suami pasien.
"Oh iya Mba."
"Jadi gini pak, Ibu nya kan memang saat ini sudah masuk pembukaan 9 ya tadi, tapi sudah ditunggu sampai 2 jam tidak lengkap juga. Seharusnya kan sampai pembukaan 10. Jadi si Ibu harus dirujuk, kemungkinan akan divakum, akan dibantu dengan alat nanti. Gimana pak?"
"Ya udah mba, yang terbaik aja untuk istri saya. Mba yang lebih paham, yang terpenting anak dan istri saya selamat."
Aila tersenyum "Ya udah kalau gitu kita siap-siap sekarang ya Pak. Mobil sudah disiapkan."
"Iya Mba."
Kemudian Aila dan Kak Suci merujuk pasien menuju rumah sakit.
"Kau harus pahami. Apa yang menjadi profesi diri. Kau harus resapi. Setiap kewajiban profesi diri. Dengan begitu kau akan jalani sepenuh hati."
[The Greatest Husband]
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Greatest Husband
RomanceSaat pertama kali Abram menatap Aila dengan mencuri-curi kesempatan. Saat Abram mencoba menghidupkan suasana dan renyah tawa untuk mendekati Aila. Di suatu tempat yang akhirnya menjadi tempat favourite untuk mereka. Akan kah mereka terus menyatu dan...