16. Memori Anak Ingusan

1.4K 312 54
                                    

***Setengah Normal***

"Riel!"

Panggilan itu terdengar saat Ariel baru keluar dari ruang guru.

"Ariel!" Seruan terdengar lagi karena yang dipanggil tampak tak mendengar.

"Woi, Ashariel Josephine!" Cowok di sana menyebut lantang hingga yang diserui akhirnya menoleh juga. "Jangan buru-buru kenapa?" katanya sambil berlari menghampiri.

"Denis?" Ariel yang telah menghentikan langkah bertanya, "Ada apa?"

Cowok yang disebut tersenyum, "Kamu nggak punya cowok, kan?" katanya tanpa basa-basi.

Ariel menahan pandangan, "Emang kenapa?"

"Kamu mau nggak jadi pacar aku?"

Ariel terdiam. Alisnya saja yang saling menaut.

"Aku suka sama kamu. Aku pengen jadi pacar kamu. Kamu mau, nggak?" Lalu Denis mengutarakan maksud hatinya melihat reaksi itu.

"Serius kamu ngajak aku pacaran?" kata Ariel usai berpikir sebentar.

"Serius lah, Riel," jawab Denis segera.

"Tapi kita kan masih SMP."

"Emang ada yang salah kalau anak SMP pacaran?" Denis berkata heran. "Kita udah kelas 9, lho."

"Justru di situ letak salahnya," cepat Ariel membalas. "Sebentar lagi kita bakal ujian. Kewajiban kita sekarang adalah belajar, Den. Lagipula kita ini masih anak ingusan. Ngapain coba mau pacar-pacaran?"

"Kita bukan lagi anak ingusan, Riel." Denis beranggapan.

Sreeeppp.

Ariel langsung menarik napas hingga menimbulkan bunyi khas orang pilek dari hidungnya. "Aku masih anak ingusan." Ia mengaku sambil mengusap-usap atas bibir layaknya sedang flu. "Aku aja belum menstruasi kayak teman-teman kebanyakan. Jadi maaf, jangan ajak aku pacaran. Aku sama sekali belum ada pikiran buat punya pacar. Mungkin nanti saat aku umur dua puluhan, aku baru mau mikir urusan percintaan."

Denis mendengus. "Ayolah, Riel. Aku lagi ngomong serius, nih."

"Aku juga nggak lagi bercanda, kok." Ariel menimpal tegas. "Ya udah, Den. Aku ke kelas dulu, ya." Cewek itu membalikkan badan. Namun tiba-tiba Denis menahan pundaknya.

"Aku tetap pengen jadi pacar kamu, Riel," kata cowok itu.

Ariel memandangnya lama. "Emang jadi teman sekelas aja nggak cukup, ya?"

"Nggak," jawab Denis mantap. "Ayolah, nggak ada salahnya kamu coba nerima aku. Kita bisa jalani dulu, Riel," bujuknya.

"Maaf, tapi aku belum pengen punya pacar saat ini. Sebaiknya kamu cari cewek lain aja kalau udah pengen pacaran." Ariel tetap pendirian.

"Arieel, dicariin Maya tuh!" Seruan mendadak terdengar dari koridor samping taman.

"Yaa, tunggu sebentar!" Ariel lekas menyahut. Ia melepas tangan Denis dari pundaknya lantas berlari menuju asal seruan tadi.

Sorenya Ariel baru saja keluar dari kelas tambahan Matematika. Ia mendengar adanya kegemparan dari arah gerbang. Ariel memang keluar paling terakhir karena ada masalah dengan risleting ranselnya tadi.

"Ya ampun, aku beneran nggak tega." Seorang cewek entah dari kelas apa menjerit saat Ariel hendak lewat.

"Aku... aku mual. Darahnya banyak banget."

"Ada apa?" Ariel bertanya pada Maya yang berjalan di depan.

"Aku juga nggak tahu. Yuk, kita lihat!" Cewek dikucir dua itu menarik Ariel menuju kerumunan orang di depan sekolah.

"Astaga, itu siapa?" Maya langsung menutup wajah saat melihat sesosok badan terbujur penuh darah di pinggir jalan.

"Itu Denis!" Seseorang menjawab. "Denis anak 9-B. Tadi dia ketabrak mobil waktu mau nyebrang."

"Aku lihat dia kepental keras banget. Kepalanya..." Anak cewek dari 9-A menangis, tak mampu meneruskan kata-katanya.

Ariel mematung di tempat. Dipandangnya ngeri sosok yang tergeletak dalam genangan darah. Perlahan-lahan wajahnya berubah pucat. Ia gemetar mengenali tubuh itu benar-benar Denis, cowok yang sekitar dua jam lalu baru saja menyatakan perasaan kepadanya.

Kecemasan Ariel bertambah waktu beberapa guru datang. Meskipun ambulans belum tiba, tapi para guru sudah bisa memastikan jika nyawa Denis telah melayang. Anak cowok itu telah meninggal di tempat kejadian.


***Setengah Normal***

18 Juni 2018
Francesc Indah

Setengah NormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang