35. Maaf,

1.3K 327 102
                                    

Makasih buat yang udah selalu ngasih bintang tiap ada updatean. Moga tetap tertarik untuk baca ceritanya sampai kelar.
Salam kecup dari Yovie lewat Ellan 😘

 Salam kecup dari Yovie lewat Ellan 😘

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***Setengah Normal***

Ariel mendengus sendiri. Kenapa harus ada makhluk itu di saat ia akan ketemu orang begini? Biarpun Ariel tak terlalu peduli pada keberadaannya dan tak akan ambil pusing apapun komentarnya nanti tapi tetap saja kehadiran cowok itu seperti sebuah gangguan.

"Oi, setan. Ngapain lo di sini?" tegur Ariel pada Ellan yang hanya sekilas menengok, tak membuat ulah dengan kata-kata sinis seperti biasa.

"Kenapa?" Anak yang baru saja mengikat tali sepatu itu segera menegakkan badan. "Gue nggak boleh ada di sini, ya? Keberatan?"

Sekali lagi Ariel mendengus, bosan melihat senyum congkaknya. Ya sudahlah, pikir Ariel akhirnya. Ia memutuskan untuk mengabaikan Ellan dan lebih memilih memandang berkeliling lapangan, mengira-ngira di mana posisi rekan janjiannya.

Mengherankan. Meskipun bermenit-menit telah berlalu tapi si pelaku tak kunjung kelihatan. Ariel mendesah lelah sembari kembali memeriksa ponsel. Mungkinkah orang itu tak berani datang? Ariel sedang bermaksud menghubungi Giga saat menyadari Ellan masih berada di sebelahnya dan lebih aneh—sedang memandang.

Sebentar, pikir Ariel lagi. Kenapa Ellan bisa berada di taman bebas sendirian begini? Lalu untuk apa pula ia memandangi seolah menunggu Ariel untuk memulai pembicaraan?

"Lo lihat Kisanak nggak? Maksud gue Mas Sam." Ariel putuskan bertanya untuk menetralkan prasangka yang ada.

"Mas Sam?" Ellan mengernyit. "Ngapain lo nyari dia? Barusan ribut, ya?"

"Nggak, gue cuma mau nanyain tentang sesuatu sama dia. Gue mau minta penjelasan," jawab Ariel terus terang.

"Sesuatu apa?" Ellan bertanya dengan raut penasaran yang tak bisa dipastikan serius atau hanya dibuat-buat.

Ariel terus mengamati sikapnya yang mencurigakan sebelum ia berinisiatif mengeluarkan kertas milik Sam dari ranselnya. "Gue mau nanyain apa alasan dia bikin tulisan kayak gini. Sejak kelas 10 gue sering dapat kertas-kertas semacam ini. Pastinya lo juga tahu soal itu."

Tiba-tiba Ellan tertawa. "Lo salah," ucapnya kemudian. "Seseorang yang selama ini ngirim tulisan-tulisan ke lo bukan Mas Sam. Kayaknya lo udah salah paham, ya."

"Salah paham?" Kedua alis Ariel menaut karena bingung. "Terus gimana sama kertas surat ini? Gue lihat sendiri benda ini jatuh dari tangannya."

"Gue nggak tahu kalau soal kertas itu," Ellan mengangkat bahu. "Tapi mestinya lo sadar kalau tulisan yang lo dapat dari orang misterius dan tulisan yang dijatuhkan Mas Sam itu beda."

Awalnya Ariel tak mudah percaya begitu saja, namun kemudian ia ingat jika satu surat yang siang ini ia dapati di laci mejanya tidak langsung ia buang seperti biasa. Ariel sengaja menyimpannya di dalam tas sejak ia berencana menemui siapa pelakunya.

Ariel mengeluarkan kertas itu lalu ia sejajarkan dengan kertas milik Sam. Ia memerhatikan keduanya dengan seksama dan ternyata Ellan benar. Baik dari rangkaian penulisan huruf, spasi, maupun cara menggoreskan spidolnya tidaklah serupa. Lagipula jika dipikir lagi tulisan si pelaku selalu tampak rajin dan enak dipandang. Sementara tulisan Sam boleh dibilang lebih besar-besar, agak berantakan.

"Gimana lo bisa tahu soal ini?" Ariel lantas menatap Ellan curiga usai yakin dengan fakta yang baru didapatnya.

"Apa? Kenapa diam aja?" tanya Ariel lagi karena cowok itu cuma tersenyum, tak mengatakan apa-apa. Gelagatnya saja yang aneh.

Seketika mata Ariel melebar. "Nggak," bisiknya pada diri sendiri. Tanpa sadar ia mulai memundurkan langkah, mukanya pun mendadak pias. "Jangan bilang... jangan bilang kalau lo sebenarnya orang itu. Nggak, nggak mungkin."

"Kenapa kalau orang itu gue?" sahut Ellan santai. Kedua tangannya bahkan disedekapkan di depan dada.

"Tapi lo kan..." Ariel sungguh tak percaya hingga kesulitan berkata-kata. "Lo kan dari dulu nggak pernah suka sama gue. Lo benci gue, kan?"

Ellan tersenyum kalem menanggapinya. "Kata siapa gue benci lo?" sahutnya tenang. "Nggak tuh, gue nggak pernah benci sama lo. Gue cuma sebel," ia mengakui. "Gue sebel sama cewek yang cueknya kebangetan kayak lo. Tapi, kadang-kadang gue cuma pengen kita ngobrol. Gue mau lo melihat keberadaan orang lain di sekitar lo juga."

Ariel mundur selangkah lagi. Matanya yang sudah membelalak tampak begitu nanar. "Lo..." katanya terhenti karena giginya bergemertak. "Baru tahu kalau lo ini ternyata cuma seorang pecundang."

"Apa? Pecundang?" Ellan tampak tak terima atas kata-kata yang Ariel ucapkan. "Kenapa lo ngomong kayak gitu?"

"Terus, menurut lo gue mesti ngomong apa?" sahut Ariel sengit. "Dasar topeng lo! Mati aja sana!" umpatnya sebelum beringsut dari lapangan dengan gusar.

Ariel menggeram saat menaiki tangga tribun. Entah apa penyebabnya, yang jelas ia sangat marah mengetahui si pelaku alias penggemar rahasianya adalah Ellan. Ariel merasa dibohongi. Sungguh, Ariel kesal setengah mati.

Sebelumnya Ariel memang berniat berteman dengan orang itu, namun setelah memergoki Sam mempunyai kertas serupa ia langsung berubah pikiran. Tak mungkin ia mengajak kakak kelas tengik itu untuk berteman. Ariel sengaja mengajak si pelaku bertemu yang dikiranya Sam hanya untuk meminta kejelasan atas apa yang dilakukannya selama ini. Tapi ternyata orang itu bukan Sam, dan justru seseorang yang lebih tak ingin lagi Ariel ajak berkawan.

"Ariel?" Giga memanggil waktu mereka berpapasan di tangga teratas tribun. Tampaknya cowok itu sudah berada di sana sejak beberapa saat sebelumnya. Pasti ia datang untuk diam-diam melihat pertemuannya dengan Ellan, pikir Ariel dengan napas menderu yang tak beraturan.

"Jadi orang yang kemarin sempat bikin lo menjauh dari gue itu dia?" kata Ariel penuh penekanan. "Kenapa sih lo? Bisa-bisanya lo takut diancam cowok macam dia."

"A-apa?" Giga tergagap-gagap saking terkejutnya. "Riel, sori..."

"Lo kan tahu gue sama sekali nggak suka sama dia!" potong Ariel keras, suaranya sampai terdengar berbeda dari yang selalu Giga dengar selama ini. Ariel benar-benar telah terbakar emosi. "Harusnya gue nggak pernah peduli sama pengirim surat-surat konyol itu. Harusnya gue nggak pernah mau tahu."

"Tunggu! Ariel!" cegah Giga saat cewek itu menyibaknya untuk berjalan pergi. "Tunggu! Tolong dengerin gue sebentar. Sepertinya lo udah salah paham. Ini nggak kayak gitu. Kejadiannya..."

Meski tak lagi menoleh tapi Ariel masih mau menghentikan langkahnya.

"Gue nggak pernah bilang sama lo kalau seseorang udah ngancam gue waktu kita bahas si pelaku. Saat itu gue terpaksa menjauhi lo dan nggak mau nyebutin siapa pelakunya karena itu pilihan gue sendiri," Giga menjelaskan. "Gue cuma nggak mau lo tahu. Gue nggak mau, meskipun sebelumnya gue sendiri yang nyuruh lo nyari tahu." Ia mengaku dengan nada penuh penyesalan.

Ariel diam saja. Amarah di dadanya yang sedang bergejolak semakin meletup-letup tak terkira. Jika diingat balik memang benar, Giga tak pernah mengiyakan waktu ia bertanya apa dirinya telah diancam. Ariel sendiri yang menyimpulkannya begitu.

"Gue minta maaf," ucap Giga tertunduk. "Gue minta maaf buat keegoisan gue. Gue minta maaf buat semua yang udah gue lakuin sama lo. Semuanya..." ia berkata semakin pelan.

Ariel menoleh sambil melepas tangan Giga yang masih menahan lengannya. "Lo nggak perlu minta maaf," katanya dingin. "Gue bisa atasin sendiri." Ia menggumam lantas melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan taman bebas, meninggalkan Giga termangu sedih sendiri, dan meninggalkan Ellan yang sejak tadi dari jauh masih mengamati.

13 Oktober 2018
Francesc Indah

Kalo jadi Ariel, kira-kira kalian akan jengkel atau malah senang setelah ketemuan ini? 🤔🙄

Setengah NormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang