31. Mematahkan Kutukan

1.3K 290 42
                                    

Beberapa waktu sebelumnya...

"Sekarang lo jujur aja. Sebenarnya ada rahasia apa sampai lo nggak suka dideketin cowok?" Sambil menunggu Sam mengumpulkan anak-anak untuk bermain basket dan menemani Ariel menunggu Giga piket, Yovie coba menguak lagi masalah yang selalu disembunyikan Ariel.

"Saya cuma takut," ujar anak itu karena terus didesak. "Saya takut disukai cowok terus ditembak."

"Kenapa mesti takut?" tatap Yovie. "Kalau nggak suka kan lo tinggal nolak, tapi ya nggak perlu sampai berlaku kayak gitu juga."

Ariel mengembus napas dalam. "Saya takut," ujarnya kelam.

"Menolak perasaan seseorang emang bikin nggak nyaman, tapi kalau nggak suka ya mau gimana lagi?" kata Yovie sambil meregangkan tangan. "Gue pikir, lo ini beneran nggak pernah peduli setiap kali nolak cowok. Lo kelihatan cuek banget, aneh aja tiba-tiba lo ngaku takut kayak gini."

"Bukan itu yang saya takutkan," sebentar Ariel melirik Yovie. "Ada hal lain yang bikin saya nggak suka situasi di mana saya ditembak cowok. Perasaan menakutkan, yang terpaksa bikin saya menghindari cowok-cowok yang punya perasaan kayak gitu ke saya. Saya takut bikin mereka sial."

"Sial?" Yovie mengerutkan kening. Ia menatap serius Ariel yang melamun lalu menyentuh pundaknya pelan. "Ceritain aja semuanya. Apapun yang selama ini lo pendam sendirian, udah saatnya lo bagi ke orang lain. Lo bisa percaya sama gue."

Ariel menunduk sebelum perlahan-lahan mau menatap Yovie. Ya, mungkin memang sudah saatnya ia membuka rahasia gelap yang selama ini ia simpan seorang diri. Lagipula Yovie adalah sosok yang paling tepat untuknya berbagi.

"Dulu waktu SMP, saya pernah punya teman. Namanya Denis." Dengan suara lirih namun penuh kemantapan Ariel pun mulai bercerita. "Kami udah kenal sejak kelas 8. Meski nggak akrab, tapi kami berteman cukup baik sampai kelas 9. Kebetulan kami sekelas dua tahun berturut-turut."

"Terus gimana kabar Denis sekarang? Apa saat ini kalian masih sering berhubungan?" tanya Yovie saat anak itu kembali diam.

"Denis... udah meninggal," jawab Ariel pelan. "Hari di mana dia menyatakan perasaan sama saya, itu juga jadi hari terakhirnya hidup di dunia."

Yovie tertegun. Dilihatnya Ariel meremas tangannya sendiri yang entah sejak kapan sudah gemetaran.

"Denis selalu baik sama saya. Dia sering nraktir, bantuin kalau ada tugas, juga sering minta sopirnya ngantar saya pulang kalau dia lagi dijemput." Ariel melanjutkan kisahnya dengan pandangan menerawang. "Saya nggak pernah tahu kalau Denis melakukan semua itu karena dia suka sama saya. Sampai suatu hari, Denis bilang dia pengen jadi pacar saya."

"Terus lo nolak?" tebak Yovie hati-hati.

Ariel mengiyakan. "Tapi Denis maksa. Dia tetap minta saya nerima perasaannya meski saya udah bilang belum pengen pacaran. Padahal udah saya jawab tegas saya nggak bisa. Saya sempat melihat kekecewaan dan rasa marah di wajah Denis saat saya pergi karena dicariin Maya. Jadi sepanjang sisa jam pelajaran hari itu, saya sama sekali nggak bisa konsen."

Sebentar suasana hening karena segerombol cewek kelas 10 mau lewat. Beberapa dari mereka kedapatan bisik-bisik sambil melirik Yovie. Ariel menjeda ceritanya sampai mereka benar-benar pergi.

"Hubungan saya sama Denis selalu baik-baik aja sebelumnya. Jadi setelah bel pulang saya berencana minta maaf, dan bilang kalau saya lebih senang kami tetap temenan daripada pacaran," lanjut Ariel yang baru sadar Yovie masih memandanginya.

"Denis keluar kelas lebih cepat waktu itu. Sementara saya sama Maya keluar belakangan. Saat kami berdua jalan menuju gerbang, tiba-tiba kami dengar suara ribut-ribut. Ternyata ada kecelakaan di depan sekolah."

Setengah NormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang