"Denis meninggal gara-gara lo. Harusnya lo nggak ngasih harapan dari awal kalau nggak mau jadi pacarnya."
"Katanya orang kaya, tapi bisa banget manfaatin cowok. Ditraktir tiap hari mau aja. Pulang sering dianterin, apa-apa dibantuin, giliran ditembak nolak. Lo bikin dia kecewa di saat-saat terakhirnya."
"Kemarin lo nolak Denis dan sorenya dia ketabrak sampai langsung meninggal. Sekarang sepupu gue jadi nggak bisa jalan dengan normal. Gue jadi curiga kenapa orang-orang dekat gue dapat kecelakaan. Mereka kena musibah begitu setelah ngungkapin perasaan sama lo. Jangan-jangan lo ini cewek pembawa sial."
"Gue harap nggak ada lagi cowok apes yang suka sama lo. Bisa-bisa satu persatu teman gue habis karena kecelakaan. Hii, dasar tukang bawa sial!"
"Pergi!" teriak Ariel dengan pelipis berpeluh. Napasnya tersengal. Lagi-lagi ia mendapat mimpi buruk dari masa lalunya. Jika biasanya bayangan Denis disertai genangan darah di gerbang SMP-nya, kali ini Viko dan kata-kata tajamnya yang datang.
Ariel mengatur napas lantas meraih gelas air putih di nakas samping ranjang. Setelah meminum sekiranya ia mengusap keringat. Sudah dua tahun ia didatangi mimpi buruk hampir setiap malam. Namun akhir-akhir ini mimpinya semakin parah saja. Terhitung semenjak kecelakaan yang menimpa Giga.
Jam masih menunjukkan pukul 3 dini hari. Ariel tak berani kembali memejamkan mata. Ia hanya termenung sambil memandangi langit-langit kamarnya. "Kapan semua ini berakhir?" pikirnya sedih. Selama ini Ariel sudah cukup menderita melawan malam-malam buruknya. Kadang ia begitu ketakutan. Seolah-olah arwah Denis bergentayangan, tak mau membiarkan Ariel hidup tenang dan bahagia.
Gelisah, Ariel memungut ponsel untuk mengalihkan pikirannya. Sejenak ia memeriksa pembaruan yang lewat di akun media sosialnya. Tak ada yang menarik. Ariel memilih keluar lalu melihat-lihat kontak dalam ponsel yang jumlahnya tak seberapa. Jempolnya berhenti menggeser otomatis saat matanya menangkap nama Giga.
Ariel tersenyum getir. Ia memang belum menghapus nama Giga meskipun sudah memutuskan begitu. Sesungguhnya dalam hati Ariel ingin terus dekat dengannya, tapi ketakutan dan traumanya lah yang mengharuskan ia menjauhi cowok itu. Bahkan sampai menyakiti hatinya.
Semenjak sore itu Giga benar-benar telah berhenti mendatanginya. Hampir-hampir Ariel tak pernah lagi melihatnya kalau saja mereka tak sengaja berpapasan di koridor atau di lapangan selepas upacara. Namun tak ada lagi senyum dan sapa yang biasa tercipta.
Keduanya melintasi satu sama lain seperti dua orang yang tak pernah saling mengenal. Ariel dengan tatapan lurusnya sementara Giga sering memalingkan muka daripada melihatnya. Di balik raut datarnya Ariel menyimpan kesedihan yang dalam, tapi ia sadar hal itu adalah resiko dari jalan yang sudah dipilihnya. Ia tak pernah menyesal asal masih bisa melihat Giga berpijak di tanah yang sama.
"Ini, ada oleh-oleh dari Papa. Kemarin Papa baru aja dari Singapore. Dia minta gue ngasih ini ke lo." Maya yang sejak hari itu hanya sesekali mengajak Ariel berbicara menghampiri di menit-menit awal istirahat pertama.
"Makasih." Ariel menyentuh bingkisan yang Maya letakkan di mejanya. "Bilangin makasih juga sama Papa lo."
Maya cuma mengangguk lalu pergi lagi. Ariel masih sering melihat anak itu pulang dengan Giga biar tak sesering waktu masih bersamanya. Bagaimanapun hubungan mereka jadi agak berbeda akibat masalah yang Ariel timbulkan. Tak salah kalau Maya ikut membencinya.
"Ariel, mau ke mana?" sapa Yovie. Mereka bertemu di lorong saat Ariel berjalan menuju kantor guru. Ellan sengaja menyuruh Ariel membawa tugas Bahasa Indonesia ke meja Bu Reni karena ia mengumpulkan buku paling terakhir. Itu memang sudah menjadi tradisi kelas 11 IPS 1.
![](https://img.wattpad.com/cover/134175139-288-k164875.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Setengah Normal
Teen Fiction(SELESAI) Karena selalu memusuhi cowok-cowok yang menyukainya dan mencatat nama mereka dalam buku daftar hitam, Ashariel Josephine sering dianggap kurang normal oleh teman-teman sekolahnya. Orangnya pelit, cueknya kelewatan, mukanya hampir selalu da...