Ariel hanya berdiri kaku, tak mampu membalas perkataan Viko. Tangan dan kakinya sampai terasa dingin, terlebih saat sadar semua mata tertuju padanya dengan pandangan penuh tanya.
"Eh, Gorila! Lo ngomong apa sih?" Sam yang berada di sebelah Ariel menyahut. "Sopan dikit bisa kali, ya."
Dilontari begitu rupa Viko justru tertawa. "Lo cowoknya?" ia lalu bertanya.
"Bukan," jawab Sam ketus. "Siapa juga yang mau jadi pacar junior ngeselin kayak dia? Gue cuma ngerasa nggak etis aja dengar sapaan lo barusan. Nggak enak di telinga."
"Oh, bagus kalau gitu." Viko menarik ke atas satu sudut bibirnya. "Gue saranin lo jangan sampai suka Ariel. Kecuali kalau lo mau dapet celaka." Lagi-lagi ucapnya memprovokasi suasana.
"Lo siapa?" Yovie lalu maju dan angkat bicara.
Viko terkekeh. Sebentar ditatapnya Yovie, Sam, lalu orang-orang di sekitarnya. "Gue bukan siapa-siapa, cuma teman SMP Ariel yang kehilangan sahabat dan sepupu gara-gara kesialan yang dia bawa."
Orang-orang semakin melihat Viko dengan berbagai pandangan sebelum beralih memerhatikan Ariel. Ariel yang membisu dengan wajah menunduknya. Ariel yang mendadak kelihatan begitu lemah karena kehilangan seluruh kepercayaan dirinya.
Yovie berkedip kaget sesaat setelah menyadari perubahan sikap anak itu. Ia lalu mengamati Viko dan memikirkan ulang perkataan sebelumnya. Yovie pun segera sadar cowok itu siapa. Ia jelas masih teringat akan peristiwa buruk yang pernah Ariel ceritakan padanya.
"Sam, kita pergi aja. Nggak usah dengerin dia," ajak Yovie segera. Ia juga melirik Meghan, mengisyaratkan supaya membawa Ariel pergi dari hadapan murid Pancasila itu.
Sam mencibir sebelum mau mengikuti ajakan Yovie. "Lo nggak usah sok-sokan bikin ulah di sekolah orang. Mending lo cepetan cabut daripada nggak aman," ancamnya lalu mengekori Meghan yang mengamit Ariel agar ikut jalan dengannya.
"Harusnya lo nggak perlu bawa dia ke kelas segala," omel Giga sewaktu dipapah Genta dan Eki menuju gerbang. Luka di pahanya yang terbuka memang membuatnya agak kesulitan berjalan.
"Niat gue kan cuma pengen bantuin lo, Ga. Sebagai teman gue kurang baik gimana coba?" balas Genta santai saja.
"Ya paling nggak harusnya lo ngasih tahu gue dulu, kek. Seharian ini kan gue lagi lemes. Nggak bisa banyak gerak karena ini kaki sakitnya nggak kira-kira. Mana bibir sariawan pula. Mau ngomong aja males lo malah bawa Ariel ke depan gue."
"Yang penting kan usaha kami nggak sia-sia. Ariel jadi mau ngomong sama lo tuh. Malah dapat bonus kecupan segala," Eki menunjuk sebelah pipi Giga. "Lo pasti belum pernah dicium Ariel, kan?"
"Kata siapa?" sangkal cowok itu. "Pernah kok, dulu."
"Kalau yang lo maksud pas adegan tabrakan itu nggak masuk hitungan namanya. Kan nyiumnya nggak pakai rasa," balas Eki menohok. "Udah, lo bilang makasih aja. Nggak perlu misuh-misuh gitu lah, Ga. Kayak Emak-emak nggak dapat diskon aja lo."
"Lo nggak tahu sih posisi gue barusan gimana."
"Emang posisi lo gimana?" tanya Genta. "Padahal gue udah bilang beberapa hal ke Ariel buat mendramatisir keadaan. Kayaknya posisi lo meyakinkan."
"Justru itu, Bambang! Kesannya gue jadi kayak cewek lagi ngambek tadi. Pasti dikiranya gue cuma cowok payah yang baperan. Ditinggal cewek aja merana sampai segitunya," dumal Giga. "Lagian lo ngomong apa sih sampai dia nyuruh gue cepat pulang? Lo berdua kan tahu gue sengaja mau tidur dulu sampai Bang Arjun datang."
Eki dan Genta cekikikan mendengar ocehan kesal Giga yang tak habis-habis.
"Kenyataannya abang lo bener-bener datang, kan? Dia nggak jadi telat jemput," Eki menyahut. Ia dan Genta memang tengah membantu Giga jalan sampai depan sekolah untuk diserahkan pada kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setengah Normal
Fiksi Remaja(SELESAI) Karena selalu memusuhi cowok-cowok yang menyukainya dan mencatat nama mereka dalam buku daftar hitam, Ashariel Josephine sering dianggap kurang normal oleh teman-teman sekolahnya. Orangnya pelit, cueknya kelewatan, mukanya hampir selalu da...