"Bisa nggak, duduk lo nggak deket-deket sama gue?" Ariel melirik malas Ellan yang duduk tepat di sebelahnya. Saat ini ia sudah berada di halte untuk menunggu bus Harapan. Ada banyak anak di sana, tapi entah kesialan apa yang menimpa ia harus berdampingan dengan ketua kelas 11 IPS 1 itu.
"Apa sih?" Ellan yang hari ini kembali melepas kacamata menjawab sebal. "Ini tempat umum kali. Gue lagi nunggu sopir pribadi gue di sini."
"Biasanya lo berdiri di sana sama Kenji," Ariel menunjuk samping kanan gerbang utama. "Gue nggak mau akhirnya jadi ngobrol sama lo kayak gini."
Ellan mendesis, "Ngobrol sama gue nggak bikin lo gatal-gatal, kan?" sinisnya.
"Tapi males aja ngomong sama orang temperamental," sahut Ariel cuek dan blak-blakan.
"Aah," namun Ellan justru tersenyum sendiri. "Jadi serius sekarang lo udah nganggap gue orang?"
Ariel menoleh, memperhatikan raut Ellan yang tampak senang. "Tapi gue nggak gampang kasihan sama orang, lho."
"Hell!" seketika Ellan mengumpat bak kesetanan. "Emang siapa juga yang mau dikasihani sama lo? Nggak usah sok deh jadi orang!"
"Siapa yang sok? Gue cuma..." ucapan Ariel terputus waktu melihat Giga lewat dengan motornya. Ia tidak sendiri, ia membocengkan Maya. Agaknya mereka tak mengetahui keberadaan Ariel karena posisi halte sederet dengan gerbang utama.
Giga mengemudikan motornya menyebrangi jalan. Setelah itu ia menepikan motor di depan cafe Falling Star, cafe andalan anak-anak Harapan, kemudian Maya turun lebih dulu. Ariel melihat Maya berkata sesuatu pada Giga, tapi ia tak bisa mendengar karena faktor jarak, juga adanya berbagai kendaraan yang lalu lalang. Yang jelas Giga akhirnya ikut beranjak dari motornya.
Ariel tak bisa menahan guratan tak suka waktu Maya tiba-tiba merangkulkan tangannya ke lengan Giga. Cewek itu tertawa-tawa ceria seperti biasa. Terlebih saat sesosok cowok jangkung dan dewasa muncul dari mobil yang semenjak tadi sudah terpakir di sana, Maya semakin mengeratkan gelayutannya.
"Kak Stevan," Ariel menyebut nama itu tanpa sadar. Ya, cowok yang saat ini sedang menghadap dua orang terdekatnya adalah Stevan, tunangan Maya.
Kini Ariel mengerti apa yang sedang terjadi. Pasti Maya bersikap seperti itu pada Giga untuk membalas kelakuan tunangannya. Akhirnya hari ini datang juga.
"Dasar geblek!" Ariel langsung memaki sendirian. "Kalau nggak mau ya nolak, bodo!" Ellan di sebelah sampai kaget. Awalnya ia mengira Ariel sedang mangatainya, namun saat melihat arah pandangan Ariel kemana ia pun mengerti.
Ellan menahan mulutnya agar tidak tertawa cekikikan. Ia tampak bahagia menyaksikan Giga di sana bermuka masam sementara Maya bermuka sebaliknya. Ellan semakin berlagak menempeli Ariel kala Giga akhirnya melihat keberadaan mereka. Sayang sekali lagaknya tak bisa berlangsung lama karena sopirnya sudah datang.
"Lo mau bareng gue?" Ia berkata pada Ariel usai berdiri. "Nanti gue anterin lo sampai rumah."
"Nggak, gue mau ngebis," tolak Ariel tanpa perlu berpikir.
"Serius," Ellan membujuk.
"Gue juga serius," jawab Ariel acuh tak acuh. "Bus gue juga udah datang, tuh." Ia langsung berdiri, berjalan melewati Ellan di depannya lalu mengikuti segerombol anak yang sejak tadi sudah menunggu kehadiran bus Harapan.
"Ariel!" seruan itu terdengar waktu Ariel masih antri menaiki pintu bus. Seperti suara Giga, mungkin masih dari seberang sana karena suaranya terdengar kejauhan. Namun Ariel memutuskan untuk tetap naik bus, mengabaikan panggilan itu.
***Setengah Normal***
"Jahat banget, sih!"
![](https://img.wattpad.com/cover/134175139-288-k164875.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Setengah Normal
Ficção Adolescente(SELESAI) Karena selalu memusuhi cowok-cowok yang menyukainya dan mencatat nama mereka dalam buku daftar hitam, Ashariel Josephine sering dianggap kurang normal oleh teman-teman sekolahnya. Orangnya pelit, cueknya kelewatan, mukanya hampir selalu da...