Ariel tak mampu lagi membendung air matanya. Sambil menaiki bus Harapan yang lewat tepat saat ia sampai di pinggir jalan, ia berusaha menghentikan linangan yang mengalir. Ariel sungguh sakit hati akan tuduhan ibu dan kakaknya. Ia masih tak menyangka, tega-teganya mereka punya pikiran seburuk itu terhadapnya.
Berjalan cepat menuju kelas Ariel mengabaikan mata-mata yang kedapatan memandangnya. Meskipun tak lama menangis namun tetap saja hal itu membuat wajahnya berbekas air mata.
"Cucu orang kaya!" Ellan yang memergoki Ariel mendahuluinya menyapa. Ia juga baru turun dari mobil ayahnya waktu Ariel sampai di gerbang utama.
"Dipanggil diam aja. Nggak sombong-sombong jadi orang bisa, kan?" serunya karena Ariel mengabaikan. "Woy!"
Ariel terpaksa menghentikan langkah karena Ellan maju lalu mencegatnya.
"Minggir," ucap cewek itu dengan suara rendah.
"Gue cuma mau ngomong..."
"Gue lagi nggak mau ngomong sama siapa-siapa."
Ellan berdecih. Ia sudah membuka mulut untuk marah-marah namun niatnya urung kala melihat raut Ariel. "Lo... kenapa?" katanya.
Ariel membuang muka, sadar Ellan mengetahui ada ketidakberesan di wajahnya.
"Lo bisa nangis juga?" kembali Ellan bertanya. "Gue pikir lo ini robot."
Ariel menarik napas jengkel. "Apa hubungannya gue sama robot?"
"Robot kan nggak punya perasaan," Ellan tersenyum aneh. "Gue juga pernah dengar sendiri Maya yang bilang kalau lo itu sejenis manusia robot."
Mendengar nama Maya disebut-sebut Ariel jadi teringat kepadanya. Mungkin nanti Ariel bisa menemui anak itu untuk menceritakan apa yang terjadi seperti biasa.
"Ah, tapi ini terlalu memalukan buat diceritain ke orang. Lagipula Maya lagi banyak urusan," gumam Ariel, mengurungkan niatnya. Ia menyibak Ellan agar bisa lewat kemudian melanjutkan perjalanan.
Jam kosong mendominasi seluruh kelas SMA Harapan hari itu. Para guru tengah mengadakan rapat dadakan dengan kepala sekolah di kantor. Dikabarkan rapat akan berlangsung sampai jam istirahat pertama tiba. Ada tiga jam pelajaran kosong yang bisa dinikmati para murid hingga bosan.
Ariel cuma duduk di bangku kelasnya sambil meletakkan kepala di atas meja. Jam kosong yang ramai sama sekali tak merubah suasana hatinya menjadi lebih baik. Ia masih dirundung sakit hati gara-gara tuduhan orang rumah.
"Riel, ke kantin nggak?" Beberapa anak sekelas mengajaknya pergi, namun Ariel cuma menggeleng menanggapinya. Ia sama sekali sedang tidak berselera.
Pada saat seperti ini Ariel tiba-tiba jadi teringat Yovie. Kakak kelas itu selalu bisa memperbaiki suasana hatinya dengan memberi nasehat yang bijak dan kata-kata yang menentramkan jiwa.
Kak Yovie, bisa ketemu sebentar?
Maka Ariel berinisiatif mengiriminya pesan.
Kelas Kak Yovie kosong juga, kan?
Tiga menit telah berlalu tapi tiada balasan. Agaknya ponsel Yovie sedang mati. Pesan yang Ariel kirim hanya menunjukkan satu tanda centang, artinya pesan belum diterima cowok itu.
"Mau ke mana lo?" Ellan berseru waktu melihat Ariel menuju pintu. "Sebagai ketua kelas, gue wajib tahu kemana warga gue pergi."
Ariel cuma melirik lalu mendengus. Ia teruskan saja langkahnya tanpa mempedulikan reaksi Ellan yang kesal karena tegurannya tak diindahkan. Sudah diputuskan Ariel akan menemui Yovie. Sepertinya cowok itu sedang bermain basket di lapangan. Ariel mendengar suara pantulan bola dan ramai-ramai dari arah tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Setengah Normal
Novela Juvenil(SELESAI) Karena selalu memusuhi cowok-cowok yang menyukainya dan mencatat nama mereka dalam buku daftar hitam, Ashariel Josephine sering dianggap kurang normal oleh teman-teman sekolahnya. Orangnya pelit, cueknya kelewatan, mukanya hampir selalu da...