"Dari mana kamu?" Lita menatap Ariel yang berbarengan dengannya memasuki teras. Sore menunjukkan hampir pukul 5, ia baru saja pulang kerja.
"Jalan-jalan," jawab Ariel sambil menggigit eskrim coklat lapis kacang yang ia pegang dengan tangan kanan, sementara tangan kiri membawa kresek putih yang berisi berbagai snack, biskuit, soda, bahkan selai pisang.
"Sebanyak itu?" Kening Lita berkerut melihat betapa royal Ariel menghabiskan uang hanya untuk membeli makanan. Tumben-tumbenan.
"Bete, sih. Mama nggak bikin masakan, perut keroncongan, rasanya pengen ngemil sampai malam. Sesekali boros nggak pa-pa buat hiburan." Ariel menggigit lagi eskrimnya, kali ini dari sisi yang berbeda.
"Emang kamu masih punya uang? Bukannya Mama belum ngasih jatah, ya? Tanggal satu kan masih lusa." Sekali lagi Lita menunjukkan muka keheranan.
"Emangnya aneh kalau aku punya uang?" Ariel berdecak merasa diremehkan. "Cuma karena belum kerja kayak Mbak bukan berarti aku nggak bisa punya uang dong," ujarnya lantas berjalan menuju pintu mendahului kakaknya.
"Mama nggak ngasih uang Ariel kan hari ini?" sambil membantu ibunya menata piring kotor Lita bertanya. Mereka baru saja selesai makan malam. Ariel sendiri sudah langsung masuk kamar untuk belajar."Nggak tuh, emang kenapa?" Rika yang tengah merapikan letak sendok di rak bundar menyahut.
"Tadi pas pulang kerja aku ketemu Ariel di depan. Dia beli jajanan banyak banget, Ma. Biasanya kan dia mau boros gitu kalau habis dikasih uang Oma. Padahal Oma masih di Bali. Mana kemarin bilangnya uang saku dia udah mepet, harus digunain buat keperluan tugas sekolah pula, kan aneh."
"Dia nggak habis ketemu Papanya, kan?" Rika bertanya curiga. "Siapa tahu Papa kalian menang judi lalu ngasih sedikit uangnya."
"Nggak lah, kalau habis ketemu Papa Ariel pasti cerita sama aku," sahut Lita yakin. "Omong-omong, Juni yang kemarin pesan lipstik sama masker udah bayar ya, Ma. Uangnya aku taruh di kamar Mama. Terus uang muka Sonya yang pesan bb cream sama blush on juga kujadiin satu di sana. Jumlahnya lima ratus ribu, tadi pagi aku letakin di meja rias."
"Oh iya, Mama sampai lupa belum masukin ke dompet. Bentar deh Mama ambil. Besok harus nransfer uang ke Septi soalnya, semua uang jualan harus dikumpulin." Setelah mengelap tangannya yang baru dicuci di kran Rika segera menuju kamar. Kamarnya memang dekat dengan ruang makan.
"Ya ampun, Lit!" Tak sampai satu menit sejak berlalunya dari meja makan, tiba-tiba Lita mendengar teriakan ibunya. "Lita, coba kamu ke sini!"
"Ada apa, Ma?“ Buru-buru Lita berlari menuju pintu ruang yang masih terbuka. "Mama kok teriak-teriak, sih? Bikin kaget aja."
"Uangnya!" Rika menoleh panik. "Uangnya kamu letakin di situ, kan?“ Ia menunjuk meja rias yang sudah berantakan.
"Iya di situ. Emang kenapa?" Lita memandang ibunya tegang.
"Nggak ada. Uang yang kamu kasih nggak ada di tempatnya!"
"Apa?" jerit Lita melengking. "M-maksudnya uang Mama hilang gitu? Aduh, tapi aku yakin banget pagi sebelum berangkat masih lihat uangnya di situ."
"Iya, Mama juga ingat. Mama cuma lupa belum masukin ke dompet karena sibuk ngurusin orderan, tapi kok bisa nggak ada sih?" Rika menggigit kuku jari dengan raut cemas.
"Ya ampun!" Tiba-tiba Lita memekik, matanya membelalak. "Ma, jangan-jangan..."
"Jangan-jangan apa?" Rika memandang takut puterinya.
"Ariel kan tadi..."
"Hush, jangan sembarangan kamu!" semprot Rika langsung saja. "Anak Mama nggak ada yang bakat jadi pencuri."

KAMU SEDANG MEMBACA
Setengah Normal
Ficção Adolescente(SELESAI) Karena selalu memusuhi cowok-cowok yang menyukainya dan mencatat nama mereka dalam buku daftar hitam, Ashariel Josephine sering dianggap kurang normal oleh teman-teman sekolahnya. Orangnya pelit, cueknya kelewatan, mukanya hampir selalu da...