(SELESAI)
Karena selalu memusuhi cowok-cowok yang menyukainya dan mencatat nama mereka dalam buku daftar hitam, Ashariel Josephine sering dianggap kurang normal oleh teman-teman sekolahnya. Orangnya pelit, cueknya kelewatan, mukanya hampir selalu da...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
***Setengah Normal***
"Riel, kok lo sendirian aja?" sapa Rubby. Ia baru saja memasuki kantin bersama Giga dan serombongan anak 11 IPS 2 lainnya.
"Tadi gue minta anak-anak balik kelas duluan, soalnya gue dapat antrian paling belakang," jawab Ariel sambil menunjukkan jus alpukat yang ia pegang.
"Ooh, lo nggak sama Maya apa? Biasanya kan lo ke kantin sama dia," tanya Rubby, sedikit heran.
Ariel cuma menggeleng. Ini sudah jadi hari ke dua semenjak Maya tak mau mengobrol lagi dengannya. Sejak sore itu Maya bersikap seolah-olah telah memutuskan tali persahabatan yang ada. Jika ditanya perasaan Ariel bagaimana ia sangat sedih tentu saja. Maya adalah sahabat Ariel satu-satunya. Dari kecil mereka sudah berteman dan terbiasa bersama.
Dulu waktu SMP mereka juga pernah bertengkar, tapi tak pernah seserius ini. Pernah Ariel marah karena ada janji belajar kelompok yang mendadak Maya batalkan. Waktu itu Maya lebih memilih latihan renang dengan anak lain meskipun Ariel sudah datang ke rumahnya. Sebaliknya Maya pernah ngambek seharian karena ditinggal Ariel pulang, padahal ia hanya mampir ke toilet sebentar. Kejadiannya pada saat mereka kelas 9, seusai jam tambahan. Namun hanya seperti itu. Tak sampai 24 jam kemarahan mereka sudah hilang. Esok keduanya kembali bersikap normal.
"Maya masih nggak mau ngomong sama saya," keluh Ariel pada Yovie. Saat ini keduanya tengah duduk di pagar semen rendah yang dibangun di sepanjang sisi halaman sekolah. Sambil menunggu Giga selesai piket, Ariel mengobrol banyak dengan kakak kelas itu. Sehari sebelumnya mereka juga telah membicarakan hal yang sama.
"Gue rasa Maya cuma lagi emosi sesaat. Saking marah dan kecewanya, pikiran dia jadi kacau gitu," tanggap Yovie bijak. "Saran gue lo jangan cepat menyerah soal Giga. Emosi Maya paling cuma sementara, gimanapun dia udah dijodohkan sama keluarganya. Kasihan lo sama Giga kan kalau udah saling suka."
"Kak Yovie," Ariel melirik untuk memprotes. "Saya nggak pernah bilang saya punya perasaan kayak gitu ke Giga. Saya suka dia karena temenan aja."
"Iya, iya..." Yovie mengangguk-angguk, pura-pura percaya. "Gue lupa kalau cowok yang lo suka itu gue orangnya."
Ariel tak menjawab, wajahnya saja yang sedikit memerah.
"Yov, buruan! Ngobrol apaan sih nyampe hampir satu jam?" Sam, sambil memantul-mantulkan bola basket berseru. Ia baru saja mengumpulkan anak-anak yang belum pulang untuk diajak tanding di taman bebas Harapan. Matanya menyorot tajam ke arah Ariel, seakan-akan ia kesal karena peringatannya kembali diabaikan.
"Sori ya, Riel, agak lama. Ada setengah jam, ya? Barusan mesti beres-beres tiga anak doang soalnya. Yang lain pada kabur karena takut disuruh bersihin musola sama Bu Aminah." Giga yang datang tak lama setelah Yovie dan Sam pergi bersama rombongannya meminta maaf.
"Mau nonton basket nggak?" Daripada menanggapi penyesalan itu Ariel menyikapinya biasa saja. "Kelas Kak Yovie lagi mau tanding, lho."
"Huh," Giga mencibir. "Bilang aja kalau lo bukannya mau nonton pertandingan tapi cuma mau ngecengin pemainnya."