52. Rumor

1.4K 293 79
                                    

***Setengah Normal***

"Kalau ada yang rese atau bikin lo nggak nyaman, lo tinggal lapor sama gue. Gue selalu siap buat ngasih mereka pelajaran," kata Jamie. Sesekali matanya memicing pada anak-anak di sekitar yang kedapatan bisik-bisik seraya mencuri pandang pada dirinya dan Ariel. Halte depan gerbang utama memang sedang ramai-ramainya karena jam pulang baru saja tiba.

"Nggak usah kuatir, Jam. Emang untuk itu kan Oma nyewain lo buat gue?" Ariel menyahut, membuat Jamie mengumpat sekaligus tertawa.

"Nggak disewa Oma lo pun gue tetep bakal belain lo kali, Riel. Kita kan udah kenal dari kecil," katanya menimpali.

Maya yang duduk di sisi lain Ariel cuma tersenyum tipis. Ia tampak lega sahabatnya telah bersikap seperti sedia kala. Agaknya segala kesedihan dan keresahan Ariel telah dibuang bersamaan dengan tangis pilunya di belakang gedung siang tadi.

"Riel!" Yovie yang baru melintasi gerbang utama dengan motor hitamnya melegakan berhenti di depan halte. "Kok lo nggak ada di kelas waktu gue sama Meghan datang? Chat gue juga nggak dibales. Lo pergi ke mana?"

"Maaf, Kak," ucap Ariel segera. Ia menatap Yovie juga Meghan yang memboncengnya dengan raut menyesal. "Tadi saya ke toilet setelah ngerjain ulangan. Saya udah mau balik ke kelas tapi nggak jadi dan malah ketemu Maya. Saya sampai lupa kalau Kak Yovie sama Kak Meghan udah bilang mau ke kelas. Saya beneran minta maaf."

"Tapi lo nggak kenapa-napa, kan?" dengan kaca helm setengah dibuka Yovie memandang Ariel. "Meghan bilang, dia sempat lihat lo lari-lari dari tangga pas nunggu gue ngobrol sama Sam."

"Saya udah nggak kenapa-napa," jawab Ariel usai menunduk barang sebentar. "Makasih Kak Yovie sama Kak Meghan udah nyempetin main ke kelas saya. Tadi emang ada sedikit urusan, tapi sekarang saya udah baik-baik aja."

Melihat keseriusan wajah Ariel dalam berbicara maka Yovie pun menutup kembali kaca helmnya.

"Ya udah kalau gitu. Kami duluan ya, Riel!" seru Meghan yang hanya dibalas anggukan oleh Ariel.

Usai menyaksikan kepergian dua kakak kelas itu Ariel pun termenung. Ia sadar bahwa seburuk apapun keadaannya sekarang, ternyata masih ada segelintir orang yang mau peduli padanya. Dalam hati Ariel begitu bersyukur. Setidaknya sedikit orang yang tulus lebih baik daripada banyak tapi ternyata bermuka dua.

"Eh, Papa udah datang, Riel. Lo yakin nggak mau bareng gue aja?" kata Maya kala Juke ayahnya sudah terlihat dari kejauhan.

"Gue lagi pengen naik bus," jawab Ariel, tetap pendirian. "Omong-omong lo udah nggak marah lagi sama Kak Stevan, ya? Terakhir kali gue ketemu, hubungan kalian kayaknya udah baik-baik aja."

"Beberapa waktu lalu Kak Stevan ngajak cewek itu ke rumah buat jelasin yang sebenarnya." Kemudian Maya bercerita. "Mama sama Papa Kak Stevan juga bilang supaya gue tetep percaya sama anak mereka. Katanya kalau beneran sampai terjadi apa-apa, mereka bakal nendang Kak Stevan dari daftar keluarga. Kak Stevan agak marah waktu semua orang nyalahin dia. Sampai dia bawa-bawa nama Tuhan, baru deh kami mau dengerin dia."

Ariel mengangguk-anggukkan kepala. "Kalau dari pandangan gue sih, Kak Stevan orangnya serius dan bertanggung jawab. Gue rasa dia juga punya hati yang baik. Cuman gue nggak bisa jamin kalau di luar sana banyak cewek yang ngejar dia. Lo doain aja moga Kak Stevan bisa selalu jaga hatinya."

"Yah, gue tahu. Itu juga yang gue pikirin belakangan. Ya udah, gue pulang ya, Riel. Duluan, Jam!" serunya sambil berdiri.

"Salam buat bokap lo aja," balas Jamie saat
Maya menuju mobil ayahnya yang telah menepi di depan gerbang. Anak itu sempatkan diri melambai-lambaikan tangan.

Setengah NormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang