9. Ternyata Yovie...

2.3K 404 110
                                    

Ditanyai Yovie begitu rupa Ariel cuma diam. Agak aneh memang. Normalnya, ia akan langsung menolak jika seorang cowok duduk di sebelahnya lalu berkata demikian. Namun karena orang itu Yovie maka Ariel memilih membiarkannya.

"Kayaknya mau hujan." Yovie kembali bersuara setelah menit-menit keduanya lalui dalam keheningan.

Ariel ikut memandang langit. Yovie benar. Langit tampak kelabu tertutup kabut mendung. Padahal seharian tadi sangat cerah.

"Hm," Ariel menggumam kala rintik air mulai berjatuhan.

"Lo bawa payung?" Yovie kemudian bertanya. "Kayaknya, hujannya bakalan lama. Kalau jarak rumah lo dari tempat turun bus cukup jauh, lo pasti basah kuyup nanti."

"Bawa, kok," jawab Ariel usai meraba ranselnya. "Oma selalu maksa bawa payung kalau saya berangkat dari sana. Katanya buat jaga-jaga. Kalau mau balik ke rumah Oma mesti jalan kaki soalnya."

Yovie sedikit tersenyum mendengar Ariel berbicara cukup banyak. "Jadi bener lo cucu pemilik rumah besar dekat tikungan depan situ?"

Ariel cuma mengangguk. Ia kembali memandang butiran-butiran bening yang turun dari langit. Hujan tampak semakin deras saja. Yang dikatakan Yovie benar. Cuaca seperti ini pasti akan bertahan lama.

Saat Ariel sedang larut dalam benaknya sambil mengamati rintikan air hujan, tiba-tiba sebuah kilatan menyambar jalan raya.

DIERRRRR!

Bunyi guntur yang sangat keras menyusul kemudian.

"Saya nggak takut petir," ucap Ariel saat sadar Yovie meliriknya. "Cuma kaget sama kilatnya."

Yovie menahan senyum. Sebab tadi ia sempat melihat Ariel mendekat padanya sambil memejamkan mata.

"Busnya kok nggak datang-datang, ya." Yovie berujar setelah sejenak mengawasi ujung jalan. "Apa mungkin sopirnya tahu kalau banyak anak udah naik bus pertama gara-gara mau hujan? Makanya dia sengaja ngaret biar banyak yang nunggu buat numpang."

Ariel menyandarkan punggung sambil membuang napas. "Hajar aja gimana?"

"Siapa?" tanya Yovie segera.

"Sopirnya. Biar dia nggak kebiasaan bikin waktu orang kebuang percuma."

"Kenapa harus dihajar?" tanggap Yovie, hampir saja tertawa. "Kalau sopirnya babak belur, nanti malah nggak ada yang nyetirin bus buat kita. Tambah kebuang kan waktunya."

Ariel tak setuju dengan pendapat itu. "Biarpun babak belur dia harus tetap menjalankan tugasnya." Ia menyela. "Itulah yang dinamakan tanggung jawab dalam bekerja."

Yovie benar-benar tertawa kali ini. Pola pikir Ariel yang polos tapi agak melencengi norma membuatnya harus geleng-geleng kepala. Yovie ingin mengatakan mungkin Ariel lupa berpikir jika sopir babak belur dipaksa menyetir pada akhirnya para penumpang juga akan celaka. Namun ia hanya berakhir tertawa daripada mengutarakan sanggahannya.

Ariel terpegun. Saat ini ia tengah kembali menyaksikan Yovie menunjukkan tawa. Bahkan kali ini dari jarak yang lebih dekat dibanding sebelumnya. Tawa cowok itu tidak berlebihan tapi manis. Sampai-sampai Ariel merasa hangat hanya dengan melihatnya. Yovie bagaikan sosok alami. Ia terlihat menarik tanpa berusaha. Ariel rasa, ia sudah hampir menemukan apa yang menjadi titik magnetnya.

JEDIEEERRRRR!

Mendadak kilat dan halilintar menyambar lagi secara bersamaan. Suaranya begitu keras menggemparkan. Refleks Ariel memejam sambil memeluk ranselnya. Sampai suara guntur mereda barulah ia kembali membuka mata.

"Kilat petir emang selalu ngagetin," ucapnya gara-gara mendapati Yovie memperhatikan seperti yang terjadi sebelumnya. "Geledeknya lebih gede yang sekarang. Buminya sampai terasa getar. Kayak mau kiamat aja."

Setengah NormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang